Selamat Datang

Selamat datang di website SimpulDemokrasi. Dalam Situs ini anda dapat menyimak informasi-informasi terbaru tentang Demokrasi di Indonesia. Selain itu komentar, opini maupun analisis tentang topik demokrasi dan penguatan simpul demokrasi juga dapat anda simak, termasuk info-info aktual terkait topik demokrasi negeri ini. Anda bisa berpartisipasi menyemarakkannya disini.
Google

Minggu, 01 Juli 2007

Sekolah Gratis Hanya Omong Kosong


Anak-anak pinggiran, anak-anak jalanan di Kabupaten Malang yang mata pencariannya sebagai pencari barang bekas (pemulung), penarik becak, penjahit sepatu, pengamen dan sebagainya, tak menghiraukan bahwa dirinya tidak sekolah.

Bagi mereka, pendidikan hanyalah isapan jempol belaka, kecuali jika ada orang lain yang mau menjadi bapak angkat bagi anak-anak pinggiran rel kereta tersebut. Mereka menganggap, pendidikan itu merupakan sesuatu yang sangat mahal dan pendidikan hanya bagi anak-anak orang kaya saja.

Mat, 30 tahun, salah seorang warga yang hanya tamatan SD saat ditemui di Alun-alun Kota Malang yang banyak bergaul dengan anak-anak jalanan, menyebutkan, rata-rata anak-anak yang berprofesi sebagai pengamen, peminta-minta, berjualan, merupakan anak-anak yang putus sekolah akibat ketidakmampuan orangtuanya membayar biaya sekolah dan ada beberapa yang masih sekolah tapi setiap hari dia harus mencari uang disini.

Meskipun pemerintah memberikan biaya sekolah gratis, lanjut Mat, warga di kawasan tersebut yang juga pedagang kaki lima tetap saja pesimis karena mereka tetap harus mengeluarkan biaya sekolah baik untuk seragam sekolah, alat-alat tulis, buku pelajaran, serta perlengkapan belajar lainnya.

Sementara itu, Mas Duki, salah seorang penarik becak dayung, saat ditemui di Mendit Kecamatan Pakis, menyebutkan, untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang adil dan merata, pemerintah hendaknya jangan hanya memikirkan anggaran pendidikan dan tuntutan para guru belaka, tetapi pemerintah juga harus memperhatikan nasib rakyat miskin yang tidak mampu untuk menyekolahkan anak-anaknya supaya dapat merasakan pendidikan.
"Jangan hanya anggaran pendidikan dan tuntutan kesejahteraan para guru saja yang diperhatikan, tetapi pemerintah juga harus membuat pendidikan tersebut terjangkau oleh rakyat miskin. Rakyat miskin juga ingin sekolah agar tidak selamanya hidup susah," tutur Mas Duki.

Mas Duki mengaku, saat ini sangat sulit bagi penarik becak dayung dengan penghasilan paspasan bagi keperluan makan untuk menyekolahkan anak-anaknya yang serba mahal. "Untuk masuk ke sekolah lanjutan negeri saja harus mengeluarkan uang jutaan rupiah, mana mungkin bagi tukang becak kayak kami ini menyekolahkan anak," ujar Mas Duki seraya menyebutkan, akhirnya banyak anak-anak yang harus putus sekolah.

Sekalipun perkembangan pendidikan di Kabupaten Malang berkembang pesat dimana jumlah siswa SMP yang lulus Unas 2007 meningkat dibandingkan tahun kemarin. Tahun 2006 lalu pelajar SMP yang lulus sebanyak 87.10 persen, tahun ini meningkat jadi 93.12 persen kata Drs. Suwandi, Kadiknas Kabupaten Malang saat di tanyai oleh Simpul Demokrasi. Namun perlu dicatat juga bahwa pendidikan di Kabupaten Malang sangat memprihatinkan dan banyak rakyat miskin yang belum mampu mendapatkan pendidikan dasar 9 tahun. “Tidak adil bila masyarakat tidak mampu dipersamakan dengan masyarakat yang mampu dan kalau bisa dibuatkan sekolahan plus untuk rakyat miskin. Standarnya seperti sekolah unggulan tapi tanpa biaya sepeserpun, tutur Pak Djarmadi pedagang kaki lima di wilayah Pakis Kabupaten Malang yang 2 anaknya putus sekolah karena terhimpit biaya.

Turunnya kemampuan orangtua untuk membiayai pendidikan anaknya, terutama pada masyarakat lapisan kelas bawah, masih menjadi penyebab utama tingginya jumlah anak yang putus sekolah. Gejala ini memberi dampak negatif, yaitu semakin banyaknya anak usia sekolah yang harus bekerja pada berbagai lapangan pekerjaan. Tak bisa dimungkiri, kualitas angkatan kerja yang masih didominasi oleh lulusan SD ke bawah ini menyebabkan profesionalitas sumber daya manusia tergolong rendah dan sulit bersaing. Suatu hal yang perlu untuk kita pikirkan bersama-sama, jangan sampai praktek pendidikan yang seharusnya sesuai dengan budaya masyarakat akan menimbulkan penyimpangan yang dapat muncul dalam berbagai bentuk goncangan-goncangan kehidupan individu dan masyarakat terutama masyarakat yang tidak mampu. Lanjut lagi ketika Simpul Demokrasi mewawancarai bocah berusia 9 tahun bernama Ahmad yang berprofesi sebagai pengamen jalanan saat ditemui di Alun-alun Kota Malang, ketika Simpul menanyakan “Kamu sekolah tidak, Nak?”, “Saya sekolah kelas 3 SD, jawab Ahmad”, kemudian Simpul menanyakan lagi “Kenapa kamu ngamen?”, biar bisa sekolah dan punya uang saku, setiap hari sepulang sekolah saya kesini untuk cari uang, jawab Ahmad yang tinggal dengan neneknya karena kedua orangnya sudah tidak ada”. Ini adalah sebuah gambaran kecil terpuruknya rakyat miskin ingin sekolah yang kadang-kadang kita kurang peduli dengan mereka.

Di Kabupaten Malang, ribut-ribut seputar pendidikan tak sekadar dihiasi mahalnya ongkos untuk jadi orang pintar, tapi juga diwarnai oleh Berbagai penyimpangan yang ada dalam masyarakat, misalnya membesarkan biaya pendidikan, berkembangnya mentalitas “jalan pintas” untuk mempercepat memperoleh gelar, penyelewengan dana untuk pendidikan, sikap materialistik dan individualistik yang dilakukan oleh para pendidik. Fenomena semacam ini yang akan terus mewarnai pendidikan di sini. Perlu perjuangan ekstra keras untuk melawan arus besar ini. Bahkan pemerintah, dengan UU di pundaknya, seakan tak mampu mencegah.

Ditulis oleh: Iwan Ira W

0 Comments:

Word of the Day

Article of the Day

This Day in History

Today's Birthday

In the News