Selamat Datang

Selamat datang di website SimpulDemokrasi. Dalam Situs ini anda dapat menyimak informasi-informasi terbaru tentang Demokrasi di Indonesia. Selain itu komentar, opini maupun analisis tentang topik demokrasi dan penguatan simpul demokrasi juga dapat anda simak, termasuk info-info aktual terkait topik demokrasi negeri ini. Anda bisa berpartisipasi menyemarakkannya disini.
Google

Minggu, 01 Juli 2007

Kontroversi Dunia Pendidikan


Potret pendidikan di Kabupaten Malang memang tidak pernah sepi dari kontroversi. Paling tidak inilah yang perlu kita benahi bersama-sama, ungkap Paring, Wakil Presidium Jaringan Islam Anti Diskriminasi yang sedang membentuk Koalisi Nasional Penciptaan Bhineka Tunggal Ika dan adaptasi Undang-Undang administrasi kependudukan.

“Sebenarnya jika mau ditelusuri, ungkap Paring”, banyak kebimbangan dalam menilai aspek pendidikan di Kabupaten Malang atau bahkan semua daerah di Indonesia dan salah satunya yang kini digugat sebagian pengamat adalah kualitas pendidikan yang cenderung mengarahkan para siswa atau out put pendidikan sebagai robot, pendidikan kita tidak bisa lepas dari tekanan industrialisasi dan sistem kapitalis yang membuat SDM kita lemah. Bahkan, semua aspek input internal dan eksternalnya dianggap sebagai cost yang harus dihitung untuk bisa mencapai titik impasnya sehingga dapat dikalkulasi berapa profit margin yang harus dicapai, ini bisa dikatakan bahwa sistem pendidikan kita “seperti pasar”, siapa yang mau barang bagus, maka costnya juga harus bagus, begitu seterusnya.

Akibat dari itu semua, orang-orang yang tidak mampu semakin sulit untuk bisa meraih jenjang pendidikan, Bahkan untuk pendidikan tinggi, kini tak ada lagi subsidi mutlak karena sejumlah PTN telah dialihkan untuk menjadi Badan Hukum Milik Negara atau BHMN sehingga mereka harus bisa mandiri menghidupi operasionalnya. Salah satu konsekuensi dari format ini adalah semua BHMN beralih menjadi research university dan ini memang sangat baik untuk memacu kualitas. Di sisi lain, dampak dari kebijakan itu adalah semakin mahalnya tarif pendidikan. Yang dimaksud tarif dalam hal ini karena memang sektor pendidikan telah berorientasi ke bidang bisnis jasa, meraup jumlah mahasiswa atau siswa. Akhirnya, kita bisa dengan lebih jeli melihat ada kelas reguler, kelas ekstensi, kelas weekend, kelas sore, kelas khusus, kelas jauh dan kelas eksekutif. Konsekuensi dari itu semua, penerimaannya melalui jalur UMPTN semakin diperkecil porsinya dan mereka pun berlomba-lomba memperbesar porsi untuk jalur non-UMPTN, bukan lagi mengarah pada tujuan mulia yaitu pencerdasan bangsa tapi lebih pada mencerahkan ekonomi rumah tangga.

Yang juga tak kalah serunya, ungkap Paring adalah tarif (sekali lagi sengaja ditulis tarif, bukan biaya) yang ditetapan selalu meningkat setiap tahun angkatan. Logika yang dipakai pun sangatlah sederhana yaitu menyeimbangkan dengan digit inflasi. Realitas ini jelas menunjukan bahwa sektor pendidikan memang telah berkiblat pada industrialisasi, kapitalisme dan tentunya pendidikan sebagai barang dagangan. Bahkan, untuk mendukung jargon tersebut maka iming-iming double degree dan berbagai fasilitas full AC sampai penyaluran kerja atau beasiswa dikampanyekan, inilah bentuk penyiasatan licik yang dilakukan oleh para pendidik kita untuk mendapatkan potensi ekonomi dari pendidikan dan pemerintah pun mengabaikan hal itu dan masih mendorong pendidikan seperti itu, akibatnya rakyat miskin menjadi semakin tidak dapat mengenyam nikmatnya pendidikan. Bahkan, slogan pendidikan murah untuk rakyat semakin tidak bisa dijangkau oleh masyarakat. Dari fakta ini, sangat beralasan jika akhirnya muncul sindiran 'orang miskin dilarang sekolah'.

Jika ini benar maka justru dari sinilah awal dari terciptanya mata rantai kemiskinan terselubung di Indonesia. Dengan kata lain, semua program pengentasan kemiskinan yang digulirkan tak akan pernah dapat untuk mengentaskan karena sumbu utama dari kemiskinan yaitu kualitas pendidikan tidak pernah dicapai oleh komunitas masyarakat miskin, di sinilah, para pendidik, birokrat/yang memiliki banyak wajah itu menjadi biangnya. Di sini pula, bantuan biaya sekolah tidak begitu saja mampu memecahkan persoalan pendidikan seluruh rakyat miskin dan demokrasi hanya dijadikan slogan untuk memperlancar aksi-aksi licik mereka, ungkap Paring sambil mengakhiri pembicaraan.
Ditulis oleh: Iwan Ira W

0 Comments:

Word of the Day

Article of the Day

This Day in History

Today's Birthday

In the News