Selamat Datang

Selamat datang di website SimpulDemokrasi. Dalam Situs ini anda dapat menyimak informasi-informasi terbaru tentang Demokrasi di Indonesia. Selain itu komentar, opini maupun analisis tentang topik demokrasi dan penguatan simpul demokrasi juga dapat anda simak, termasuk info-info aktual terkait topik demokrasi negeri ini. Anda bisa berpartisipasi menyemarakkannya disini.
Google

Sabtu, 01 September 2007

Dr. Leonard Siregar: Demokrasi dan Keberanian Moral


Plato, filsuf Yunani menulis "Republica" lebih kurang 400 tahun sebelum Masehi. Tulisan filsafat poltik tsb merupakan konsepsi Plato bagi terwujudnya suatu negara kota yang demokratis. Negara kota di mana rakyat berdaulat dalam kehidupan sosial dan politik. Idea Plato tentang "Res-Publica" ini merupakan suatu perlawanan moral terhadap apa yang menyebut dirinya: "kelompok tiga puluh tyrannoi" yang memerintah Athena dengan tangan besi dan berlumuran darah. Idea tsb pada akhirnya mencapai sasarannya. Golongan demokratis sebagai pengaruh Plato berhasil menyingkirkan diktator kelompok tiga puluh tyrannoi. Pemerintahan yang demokratis di negara kota Athena seperti pada masa Pericles dapat terwujud. Rakyat berdaulat melalui wakil-wakil rakyat yang duduk di dewan pemerintahan kota. Plato membuktikan bahwa dirinya bukan hanya filsuf besar, melainkan juga seorang intelektual dan negarawan yang memiliki keberanian moral. Perjuangan Plato melalui gagasan-gagasan yang tertuang dalam Republica tentu menghadapi resiko besar, yaitu para penguasa yang berkuasa tanpa batasan-batasan tertentu.

Demokrasi dapat terwujud karena adanya proses yang dinamis dalam kehidupan rakyat yang berdaulat. Namun motivasi utama yang mendorong proses itu ialah keberanian moral. Tanpa keberanian moral dalam arti menyeleraskan nilai-nilai moral termasuk di dalamnya keadilan dan kebenaran, maka proses itu akan tersumbat. Plato memiliki keberanian menegakkan demokrasi dalam iklim kekuasaan diktatoriat, karena dia adalah seorang intelektual yang bermoral.

Keberanian moral itu pun dimiliki oleh para perintis kemerdekaan Indonesia. Yang sangat menonjol tentunya Bung Karno. Dalam bukunya yang berjudul "Mencapai Indonesia Merdeka" yang terbit pada tahun 1933, Bung Karno juga menyinggung masalah demokrasi dalam konsepsinya tentang "sosio demokrasi" dan "sosio nasionalisme" sebagai landasan kehidupan demokrasi bagi Indonesia Merdeka. Dengan demikian, Bung Karno bukan sekedar berpikir dan berjuang agar target kemerdekaan terwujud, namun pandangan jauh ke depan dalam mengisi kemer-dekaan itu, salah satunya mewujudkan demokrasi sebagai manifestasi kedaulatan rakyat Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan sosial. Tanpa keberanian moral, tidak mungkin Bung Karno berhasil melawan penjajah yang dengan begitu kuatnya mencengkram bumi pertiwi. Walau pun kita mengetahui bahwa berkali-kali Bung Karno masuk penjara dan dibuang oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai konsekwensi keberanian moralnya.

Demokrasi yang diidamkan oleh para pendiri negara kita, bahkan oleh segenap lapisan rakyat, nyatanya tidak pernah terwujud. Kenapa demikian, jawabnya: pada era nation building (1945-1966), justru banyak pemimpin masa itu telah menggantikan keberanian moral tsb dengan mental Durno (selain persoalan ancaman bagi kesatuan dan persatuan bangsa yang harus dihadapi pemerintah). Begitu hebat dan dalamnya kaum intelektual kita mengupas falsafah Pancasila dan landasan konstitusi UUD 1945, khususnya yang berhubungan dengan demokrasi. Namun kedalaman dan kehebatan itu berjalan bersamaan dengan Durnoisme. Durno-Durno yang mengelilingi Bung Karno saat itu ternyata lebih kuat dibandingkan dengan kekuatan keberanian moral menegakkan demokrasi. Maka setelah pecahnya G 30 S terjadilah gelombang demonstrasi besar-besaran yang dipelopori oleh pemuda, pelajar, dan mahasiswa. Gelombang untuk menumbangkan Orde Lama ini pun pantas kita sebut sebagai perwujudan keberanian moral guna menegakkan demokrasi. Orde Baru berjanji untuk mengkoreksi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang telah menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945. Bahkan demokrasi di Indonesia disebut "demokrasi Pancasila". Dengan begitu jiwa-nya demokrasi adalah arti dan makna ke lima sila dalam Pancasila, yang kemudian harus dijabarkan dalam realitas kehidupan sosial dengan berbagai aspek di dalamnya. Namun realitasnya ialah demokrasi belum sepenuhnya terwujud, bahkan dalam era pemerintahan Suharto terjadi begitu banyak pelanggaran terhadap hak azazi manusia. Demokrasi hanya dimiliki oleh elite politik, para penguasa, dan konglomerat. Kenapa semua ini terjadi? Jawabnya: keberanian moral untuk menegakkan demokrasi itu telah digantikan dengan mental KKN. Sekali lagi lebih keras lagi: digantikan oleh mental KKN !!!

Lengsernya Suharto harus diakui karena gerakan keberanian moral kaum muda Indonesia-terutama para mahasiswa yang melakukan demonstrasi besar-besaran yang berpuncak dalam bulan Mei 1998. Gerakan keberanian moral ini bukan sekedar agar Suharto turun dari jabatannya, namun agar demokrasi dalam segala bidang dapat diwujudkan. Akankah motto perjuangan ini terwujud ?

Moral adalah bagian daripada kepribadian (personality) manusia. Dengan demikian moral menyatu dengan emosi (perasaan), aspirasi (kehendak), dan intelektual (pikiran). Keberanian moral yang dewasa adalah kesetimbangan ketiga fungsi kepribadian tsb dalam melaksanakan nilai-nilai moral. Keberanian moral dalam menegakkan demokrasi haruslah memperhatikan nilai-nilai kesetimbangan tsb, karena itu keberanian moral harus sistematis, bukan hanya idea yang menyebar. Bila hal ini nyata terlihat, maka gerakan penegakkan demokrasi akan berjalan lebih sistematis dan terarah kepada target yang hendak dicapai.
Untuk maksud dan tujuan itulah, demokrasi bukan sekedar slogan, melainkan perlu disistimasikan dalam wujud perundangan-undangan yang menjamin bahwa demokrasi harus terus berlangsung dalam berbagai aspek kehidupan sosial.

Pengingkaran terhadap demokrasi merupakan salah satu pelanggaran terhadap hak azazi manusia. Demikian pula tanpa menjunjung tinggi nilai-nilai hak azazi dalam segala bidang, demokrasi tidak pernah akan terwujud. Penindasan terhadap hak azazi manusia seperti telah terjadi selama 32 tahun pemerintahan Suharto, memperlihatkan sikap moral yang pengecut dan kerdil. Semua berlangsung demi melestarikan kekuasaan (status quo) dan kepentingan pribadi maupun golongan. Dalam sistem demokrasi di Indonesia sesungguhnya tidak dikenal kelompok mayoritas maupun kelompok minoritas. Sistem seperti itu dapat mengakibatkan sikap dan tindakan tirani mayoritas terhadap minoritas.

Realitas tirani tsb nyata nampak dalam penindasan terhadap WNI etnis Tionghoa yang minoritas. Tindakan brutal tsb menstimulasi beberapa tokoh muda keturunan Tionghoa untuk menegakkan hak azazi dan demokrasi. Ini pun suatu gerakan keberanian moral untuk menegakkan keadilan dan kebenaran termasuk di dalamya perjuangan menghapuskan diskriminasi etnis dan diskriminasi ras. Beberapa tokoh muda keturunan Tionghoa tampil untuk mewujudkannya: Ester Indahyani Yusuf dengan Solidaritas Nusa Bangsa yang berjuang di dalam negeri dan Utomo Lukman yang berjuang di Amerika Serikat. Perjuangan mereka patut kita hargai karena mereka bukan hanya memperjuangkan tegaknya hak azazi dan bagi etnisnya sendiri, melainkan juga turut memberikan andil bagi pemulihan hak azazi dan demokrasi di Indonesia secara menyeluruh.

Demokrasi memang bukan sekedar proses, tanpa keberanian moral tidak akan terwujud. Apakah pemerintah baru pasca Sidang Umum MPR 1999 mampu melaksanakannya ? Negarawan yang bermoral baik tentu akan berupaya tanpa pamrih melaksanakan amanat rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
Demokrasi pada akhirnya adalah perjuangan yang tak pernah selesai !

(Penulis adalah ketua umum Forum Pengkajian dan Pengembangan Demokrasi Indonesia - Amerika Serikat (FPPDIAS))

0 Comments:

Word of the Day

Article of the Day

This Day in History

Today's Birthday

In the News