Selamat Datang

Selamat datang di website SimpulDemokrasi. Dalam Situs ini anda dapat menyimak informasi-informasi terbaru tentang Demokrasi di Indonesia. Selain itu komentar, opini maupun analisis tentang topik demokrasi dan penguatan simpul demokrasi juga dapat anda simak, termasuk info-info aktual terkait topik demokrasi negeri ini. Anda bisa berpartisipasi menyemarakkannya disini.
Google

Selasa, 18 September 2007

Prasetya Utama: Proses Demokratisasi di Malaysia


Judul Buku : State and Society
Penulis : Harold Crouch
Penerbit :Cornel University Press
Halaman :266 + xiii
Tahun Terbit.: 1996

Selama satu dekade terakhir, para sarjana yang menekuni bidang politik memfokuskan perhatian pada proses demokratisasi dalam masyarakat atau negara. Bagaimana menjelaskan proses demokratisasi dalam pemerin-tahan rejim otoriter di suatu negara. Adalah merupakan kesulitan tersen-diri menjelaskan perubahan sistem yang terdapat di Malaysia, yang tak boleh dikatakan otoriter atau pun yang sepenuhnya demokratis

Malaysia Sebelum Tahun 1970
Ketika Malaya Merdeka tahun 1957 , konstitusinya memakai model demo-krasi Inggris. Pemerintah bertang-gungjawab kepada Parlemen Nasio-nal yang dipilih setiap lima tahun sekali. Secara relatif ada keterbukaan politik dengan tampilnya banyak partai yang menjadi peserta pemilu. Meski begitu pembatasan tertentu diterapkan dalam kebebasan berpo-litik. Selama jaman penjajahan diun-dangkan undang-undang "negara dalam keadaan bahaya" karena meningkatnya kegiatan kaum oposisi nasionalis dan kaum Komunis, yang membolehkan penggunaan kekuatan sesuai dengan konstitusi baru. Tetapi waktu undang-undang tersebut dica-but tahun 1960-an, muncul pengabsahan baru undang-undang yang sudah dicabut dalam bentuk "the Internal Security Act (ISA) yang memberikan wewenang kepada pe-nguasa secara preventif dapat meng-gunakan kekuasaannya untuk meng-hadapi gerakan kaum kiri, Komunis dan komunalis serta musuh-musuh negara lainnya.

Ketika Malaya merdeka, pemberon-takan Komunis sudah berhasil dipa-tahkan, meskipun gerakannya terus berlanjut (Khong 1980, Stubbs 1989). Gerakan Komunis didukung oleh orang-orang Cina yang menjadi ang-gota Persatuan Dagang dan para penghuni gelap lahan-lahan perta-nian. Partai secara potensial meru-pakan wahana untuk menumbuhkan kembali ekspresi orang Cina dari kelas bawah yang kecewa atas pene-rapan sanksi yang dijustifikasi de-ngan mengatasnamakan ISA. Bagi masyarakat Malaysia, penerapan ISA merupakan justtifikasi jangka pan-jang untuk pembatasan kebebasan berdemokrasi.

Suatu kasus klasik dalam masyarakat plural, Malaysia yang terdiri dari ber-bagai suku bangsa coincide menda-patkan kekuatannya kembali dalam pembedaan bahasa, agama dan yang lebih penting dalam pembedaan eko-nomi. Semua permasalahan poli-tik saling terjalin erat dengan kesa-daran komunal—terhadap kebijakan eko-nomi, pembangunan regional, imi-grasi, penerimaan pegawai sipil dan Angkatan Bersenjata dan berbagai kebijakan lain. Biasanya semua kebi-jakan pemerintah dipandang hanya menguntungkan salah satu ke-lompok komunitas tertentu dan me-rugikan kelompok komunitas yang lain. Meski pemerintah berupaya ke-ras untuk memelihara perimbangan antar komunitas, sentimen komunal yang kuat dan frustasi tetap muncul ke permukaan.
J
adi, sistem politik yang dilaksanakan di Malaysia merupakan campuran antara karakter demokratik dan otoriter. Sementara perwakilan poli-tik dari setiap komunitas dalam ke-rangka demokrasi merupakan alat pengawasan tensi komunal. Pemerin-tah percaya bahwa penggunaan ke-kuasaan dapat menekan gerakan Ko-munis dan mencegah konflik ko-munal agar tidak meluas dan mem-bahayakan pemerintah.

Politik Dalam Masyarakat Majemuk
Pada tahun 1957 penduduk seme-nanjung Malaya hanya terdiri dari penduduk asli dan para pendatang. Penduduk Malaya asli jumlahnya kurang dari 50% dibanding jumlah seluruh penduduk sedang penduduk Cina berjumlah 37 %, dan sisanya orang India. Ada juga sebagian kecil orang Pakistan dan Srilangka (Rat-nam, 1965). Pembentukan federasi Malaysia tahun 1963 menambah jum-lah penduduk Cina karena Singapura bergabung ke dalam federasi tersebut tetapi diimbangi oleh penduduk Sa-bah dan Serawak yang dalam politik nasional bersekutu dengan penduduk semenanjung. Keluarnya Singapura dari federasi Malaysia tahun 1965 merubah keseimbangan penduduk asli. Menurut sensus tahun 1970, penduduk bumiputera meningkat 55,5% (suku Melayu 46,8% dan penduduk asli lainnya 8,7%), semen-tara penduduk non-bumiputera 44,5% terdiri dari Cina 34,1%, India 9% dan lainnya 1,4% ( Milne dan Mauzy , 1978).

Penduduk suku Melayu tidak hanya berjumlah besar tetapi juga homogen. Semua orang Melayu berbahasa Melayu dan Muslim meski terdiri dari berbagai macam dialek, tetapi dalam bahasa tertulis mereka mema-kai bahasa baku. Di sisi lain, orang Cina dan India terdiri dari berbagai suku, agama dan induk budaya yang berlainan satu sama lain. Diantara orang Cina sebagian kecil beragama Kristen, sedangkan kelompok lainnya beragama Buddha, Kong Hu Cu dan Taoisme) yang masing-masing mem-punyai simbol dan aliran sebagai in-dentitas komunalnya. Orang India pada umumnya beragama Hindu yang secara kultural dan bahasa yang dipakai amat heterogen. Kelompok masyarakat Cina yang terbesar (Hok-kian) berjumlah sepertiga dari pen-duduk Cina, disusul penduduk yang berasal dari Kanton, Hakka, Teochiu dan kelompok-kelompok kecil lain-nya yang mempunyai kultur dan bahasanya sendiri. Orang India umumnya berasal dari Tamil, Mala-yalee, Telugu dan Sikh. Di Malaysia Timur dimana penduduk Cina meru-pakan kelompok minoritas, berbeda dengan penduduk bumiputera dan non-bumi-putera yang muslim dan non-muslim dan terdiri dari banyak kelompok, bahasa, adat-isti-adat dan mempunyai kepekaan identitas ke-lompok yang mencolok

Suku Cina dan Melayu dibedakan dalam ekonomi modern. Suku Mela-yu hidup dari pertanian dan peri-kanan. Hanya satu diantara lima kota yang dikuasai suku Melayu dimana mereka bekerja di pemerintahan (Rat-nam 1965). Di sisi lain, meski ada juga suku non-Melayu yang bekerja di sek-tor pertanian, tapi kebanyakan orang Cina dan India berkeja di sektor ekonomi modern dan mere-fleksikan tingkat pembagian kelas masyarakat. Sementara itu orang-orang India sebagian besar bekerja di perkebunan atau di pemerintahan, orang Cina di pertambangan, secara khusus mereka bergelut di bidang perdagangan kecil dan menengah dan sebagai pemilik tambang timah. Orang Cina dan India dapat pula ditemukan sebagai administratur di perusahaan dagang asing dan bekerja sesuai profesinya. Kelas pekerja dikuasai suku non-Melayu. Banyak pula suku non-Melayu yang berkerja di pelayanan teknik pemerintah, te-tapi di tingkat pejabat tingginya di-kuasai suku Melayu sebagai akibat kebijakan pemerintah kolonial Inggris menempatkan pejabat bumiputera untuk memperoleh legitimasi politik di negeri itu (Roff, 1967). Jadi suku Melayu sebelumnya memang sudah dominan menduduki birokrasi dan pertanian, sementara suku non-Me-layu predominan di bidang perda-gangan, profesi dan sebagai kelas pekerja. Malaysia Timur mengikuti pola ini, meski jumlah kaum bumi-putera amat kecil tetapi secara tradisional mereka menguasai ma-yoritas penduduk pedesaan sejak ja-man pendudukan.

Masyarakat Melayu secara sosial dan politik kurang dapat dimobilisir dari-pada masyarakat non-Melayu. Mayo-ritas penduduk masih terikat gaya hidup pedesaan. Di suatu dunia yang didominasi suatu versi ritualistik Islam dan tradisi yang berakar lama, petani Melayu amat miskin tetapi tidak dapat dibandingkan dengan negeri tetangganya. Penduduk desa Melayu mendapat pendidikan dasar, ditawarkan mobilitas sosial melalui sekolah lanjutan, universitas dan lain-nya. Secara politis kecende-rungan kepemimpinan masyarakat Melayu berasal dari kelompok kecil elit yang berpendidikan Inggris, ba-nyak diantaranya yang berasal dari aristokrasi dan bekerja di pemerin-tahan. Pembagian kelas di daerah pe-desaan dan lemahnya budaya cleava-ges intrakomunal memperkuat ke-dudukan kepemimpinan politik Me-layu. Lebih dari itu, di daerah pesisir Barat dan selatan, dimana jumlah penduduk non-Melayu di suatu tempat lebih banyak, penduduk asli melayu bersatu dibalik kepemim-pinan mereka untuk menolak para pendatang. Di pantai Timur dan di utara, dimana penduduk non-Melayu merupakan minoritas dan bukan merupakan ancaman secara politis mereka terpecah.

Orang Cina dan India, secara realtif mudah dimobilisasi. Kaum imigran dan imigran gelap sudah keluar dari lingkungan tradisional dan mencari kemapanan diri mereka di lingkung-an baru. Ada diantara mereka me-rencanakan bekerja secara temporer dan mengumpulkan hartanya untuk kembali ke tanah kelahirannya . Mes-ki begitu banyak yang terus bermu-kim di Malaya. Pada tahun 1957 hampir 75% orang Cina dan 65% orang India yang lahir di Malaya, menambah proporsi penduduk sehi-ngga kedatangan mereka dibatasi atau dilarang samasekali (Ratnam, 1965). Mobilitas geografis imigran juga disertai mobilitas sosial. Kon-sentrasi mereka di sektor ekonomi modern menyebabkan terbukanya lebih banyak kesempatan bagi kema-juan diri mereka sendiri daripada penduduk Malaya di pedesaan. Tinggal di pusat kota menyebabkan mereka memperoleh akses lebih besar masuk ke sekolah, khususnya sekolah yang berbahasa Inggris sehingga mereka dapat memperoleh pendidikan yang lebih tinggi dan dapat memasuki berbagai macam profesi. Mobilitas sosial cenderung membentuk kesadaran politik penduduk non-Melayu meningkat dan akibatnya dapat menduduki posisi luas dan meningkatkan kesa-daran kelas baru yang terpisah dari kultur dan agama asli mereka. Mo-bilisasi dan fragmentasi masyarakat non-Melayu ini tercermin dalam garis politiknya. Secara relatif di pantai Barat loyalitas orang Cina terpecah dua. Sebagian besar me-ngindetikkan diri sebagai anggota Partai Komunis atau golongan kiri dan reformis. Kelompok ini meru-pakan pendukung berat politik pen-duduk non-Melayu.

Politik Malaysia yang didominasi ka-um elite masyarakat Melayu (Voys 1975, Means 1976, Milne dan Mauzy 1978, Bedlington 1978). Pada awal abad ini Pemerintah kolonial Inggris mendirikan sekolah-sekolah untuk merekrut klas pegawai dari kaum Aristokrat dan anggota kelas ini di kemudian hari mengisi eselon tinggi birokrasi sesudah kemerdekaan (Khasnor 1984). Orang Melayu yang berpendidikan Inggris juga direkrut menjadi polisi dan angkatan bersenja-ta meski ada juga yang berasal dari penduduk non-Melayu., tetapi posisi puncak tetap diisi oleh orang Melayu. Mereka memegang kontrol terhadap birokrasi, polisi, angkatan bersenjata. Kelompok elite Melayu juga mendi-rikan sayap politik - the United Malays National Organisation (UMNO).

Kebanyakan dari generasi pertama pemimpin UMNO berasal dari kaum elite adminstratif yang berpendidikan Inggris yang telah lama menjadi pe-gawai pemerintah kolonial. Partai UMNO yang didirikan tahun 1946 sesuai dengan rencana pemerintah Inggris untuk menciptakan Persatuan Malaya (Malayan Union) yang terdiri dari sembilan negara dan dua koloni kerajaan di semenanjung. Di bawah persatuan Malaya mereka akan kehi-langan status istimewa mereka dan penduduk non-Melayu akan mem-peroleh hak sama sebagai warga-negara . Hal ini mendapat reaksi keras dari kelompok masyarakat Me-layu, juga dari kelompok elite pegawai pemerintahan kolonial yang akan kehilangan jabatan. Penyim-pangan dari tradisi pemerintahan kolonial ini hanya sebentar, pada tahun 1948 suatu federasi dibentuk dengan beberapa otonomi dan kelompok Melayu mendapat posisi khusus. Sesudah perang UMNO di-tantang oleh Partai Nasionalis Malaya (the Malay Nationalist Party atau MNP), yang bentuknya dipe-ngaruhi gerakan radikal Indonesia yang pendukungnya kebanyakan para guru sekolah. Tetapi Partai Nasionalis Malaya dilarang melalui undang-undang darurat perang pada tahun 1948 sehingga UMNO menjadi partai besar. UMNO sesungguhnya merupakan partai konservatif dan pro Inggris, meski begitu memper-juang-kan kemerdekaan dan menjadi satu-satunya partai yang dominan sebelum kemerdekaan yang menang pemilihan umum tahun 1955 untuk membentuk pemerintahan yang mer-deka di tahun 1957.

Meski UMNO telah mapan sebagai organisasi ekslusif untuk memper-juangkan kepentingan Melayu, para pemimpinnya segara menyadari bah-wa lingkungan khusus masya-rakat Melayu secara imperative diterima di kalangan mereka tetapi mereka ha-rusl memberikan pengertian terha-dap pemimpin non-Melayu yang moderat. Pemerintah Inggris tidak ingin memerdekakan Malaya yang tidak akan menjamin stabilitas dan kepentingannya di masa depan. Khu-susnya, pemerintah Inggris percaya bahwa suatu pemerintahan Melayu tidak akan dapat mengatasi pembe-rontakan Komunis, terutama yang didukung Cina. Sekurang-kurangnya dalam pemilihan umum mereka mendukung UMNO untuk bekerja-sama dengan kelompok non-Melayu (Horowitz 1985).. Di Kuala Lumpur , pemilihan kotapraja 1952, UMNO bekerjasama dengan organisasi kon-servatif Cina, Asosiasi Cina-Melayu (MCA) , bersekutu melawan pemim-pin partai multirasial Melayu. Per-sekutuan berhasil dan bertambah de-ngan MIC (Malayan Indian Cong-gress). Aliansi ini berhasil meme-nangkan pemilihan umum antara tahun 1965 dan 1969. Rahasia keber-hasilannya terletak dalam kemam-puannya untuk mengambil hati tiga kelompok masyarakat sedang di pi-hak lawan hanya terbatas pada satu kelompok masyarakat.
Meski secara formal UMNO menya-takan akan membawa bangsa Melayu ke sektor ekonomi modern, tetapi ia lebih konkern terhadap pemeli-haraan statusquo hubungan ra-sial yang harmonis . Partai ini bersikap moderat terhadap issu rasial, diban-ding Partai Pan Islam Melayu (PMIP atau Pan-Malayan Islamic Party , yang dalam bahasa Melayu Parti Islam se-Malaysia =PAS). Platform PAS yang kesukuan dan agamis) mengekloitir kelemahan UMNO yang ingin mengindentikkan dengan suku bangsa non-Melayu , membuat langkah drastis sehingga posisi Malaya yang dibiayai non-Melayu. PAS menggunakan para pejabat dan para guru untuk mengerahkan massa pendukungnya, yang biasanya datang dari wilayah utara dan timurlaut yang terdiri dari para petani miskin yang kurang di-perhatikan dalam program pem-bangunan yang disponsori UMNO.

Dalam masa pemilu pra-kemer-dekaan yang diadakan tahun 1955, PAS hanya memenangkan satu dari 52 kursi di parlemen; tetapi pada pemilu tahun 1959 PAS membuat kemajuan besar dan dapat mengon-trol pemerintah di Kelantan dan Terengganu, dua negara di Malaka yang mendapat dukungan 90 pen-duduk. Meski PAS dapat manuver kekuasaannya di Trengganu pada tahun 1961, tapi di Kelantan hanya dapat membuat basis di Kedah dan Perlis dimana orang Melayu pen-duduknya 70 sampai 80 %. Tetapi UMNO mempersatukan penduduk Melayu di pantai barat dan selatan dimana penduduknya non-Melayu padat.

Dipandang dari sudut penduduk non-Melayu, UMNO partner, khu-susnya bagi MCA dan begitu juga bagi MIC yang lebih kecil, mengalami erosi kredibilitas karena dianggap mewakili komunitas Cina dan India. Dipimpin oleh elit pendidikan berba-hasa Inggris yang menjadi kawan UMNO, kedua partai mewakili ke-lompok konservatif, sebagai bagian dari komunitas mereka yang sudah mapan untuk mendapat dukungan di tingkat daerah. MCA, di tingkat bawah didominasi oleh para tauke—bisnismen lokal, yang seringkali tidak bisa berbahasa Inggris, dan hanya sekolah menengah Cina dan punya ikatan batin dengan kamardagang Cina daerah. MIC di pihak lain amat tergantung pada para buruh perke-bunan seperti guru sekolah Tamil, pegawai perkebunan, dan pemilik toko India. Baik MCA dan MIC ke-duanya memperjuangkan kepenting-an komunitas mereka dengan meng-ungkap isu pendidikan, kewarga-negaraan, rekruitmen pegawai sipil dan lain sebagainya; tetapi perse-kutuan dan ketergantungan mereka dengan UMNO menyebabkan mereka harus mewakili kepentingan individu daripada kampanye massa. Meski berhasil memperluas perlindungan kepentingan orang non-Melayu dari ancaman penduduk Melayu, mereka tidak dapat berbuat banyak dalam mengatasi kasus-kasus orang non-Melayu. Kegagalan untuk mencapai kemajuan yang berarti membuat para pemimpin MCA dan MIC tersinggung terhadap orang Melayu. Semakin lama, kedua partai kelihatan sebagai mesin patron yang menyalurkan orang non-Melayu dari kelas menengah, khususnya para bis-nismen untuk mengakses birokrasi peme-rintah yang didominasi Melayu dan menawarkan berbagai keuntung-an kepada pendukungnya di tingkat bawah secara hierarkis. Akibatnya rasa kecewa anggota non-Melayu se-makin meningkat, khususnya orang Cina.

Oposisi orang non-Melayu tidak terpusat di satu partai yang beoposisi dengan Malaya seperti PAS tetapi ada Partai Buruh, Partai Sosialis yang punya akar di persatuan dagang serta merupakan fokus oposisi orang non-Melayu. Di Perak pendukung utama PPP (People’s Progressive Party). Partai Buruh merupakan tar-get inviltrasi Komunis dan menye-babkan konflik internal serta kabur-nya para pemimpin partai moderat pada tahun 1967 dan 1968. Banyak pemimpin partai yang ditangkap sejak ISA diundangkan sehingga partai ini memutuskan memboikot pemilu 1969. Para pendukungnya menga-baikan panggilan untuk boi-kot dan menyalurkan suaranya ke partai oposisi lainnya. DAP (Demo-cratic Action Party) memperoleh keuntungan dari peristiwa itu, yang asalnya bernama PAP (Singapura People’s Action Party) Singapura. Di Penang, suatu Partai Baru , Gerakan (Gerakan Rakyat Malaysia—Malaysia People’s Movement), tidak hanya mengambil alih suara Partai Buruh dan dapat mengontrol pemerintah.

Mosaik partai komunal cepat menim-bulkan komplikasi pada pembentuk-an Malaysia tahun 1963 dengan tam-bahan Singapura dan dua negara Ma-laysia Timur, Sabah dan Serawak un-tuk bergabung dalam federasi ter-sebut. Masuknya Singapura mengin-jeksi suatu elemen baru dalam politik orang Cina dan menimbulkan polari-sasi Malaya yang memimpin Per-sekutuan dengan Singapura berbasis PAP; tetapi fase itu dapat dilalui dengan keluarnya Singapura dari fe-derasi (1965). Di Sabah dan Serawak diikuti oleh partai yang berbasis suku Melayu dan Cina (minoritas) sebagai-mana bervariasinya kaum pribumi.

Sistem politik didominasi secara rela-tif oleh homogenitas kaum elite Mela-yu. Figur kepemimpinan UMNO, ter-diri dari para birokrat, ahli hukum, dan anggota angkatan bersenjata ser-ta polisi yang punya kesamaan ni-lai, orientasi, latar belakang pendidikan dan gaya hidup. Kaum bumiputera ini pada umumnya punya hubungan dengan kelas atas, sementara yang lain, yang belatarbelakang kelas menengah bawah telah direkrut ke dalam kelompok elit sesudah mereka menerima pendidikan berbahasa Ing-gris untuk memantapkan pandangan dan gaya hidup agar dapat masuk ke dalam status barunya. Tetapi kaum elite Melayu tidak memerintah sen-dirian saja. Para pemimpin yang berasal dari penduduk non-Melayu masuk ke dalam lingkungan peme-rintahan melalui persekutuan: bebe-rapa tokoh senior mempunyai kedu-dukan di birokrasi yang dialokasikan untuk kaum non-Melayu, dan bebe-rapa tokoh mereka masuk ke dalam angkatan bersenjata dan polisi serta menduduki jabatan tinggi. Selebih-nya—banyak kebijakan pemerintah yang menguntungkan kaum non-Melayu, terutama di bidang ekonomi yang diduduki orang Cina dari kelas atas (Funston 1980).
Sistem politik yang berkarakter gabungan sosialisme dan nasionalis-me (Funston 1977). Model ini meng-utamakan stabilitas masyarakat plural melalui integrasi tingkat elite masyarakat yang diwakili oleh para pemimpinya. Di bawah sistem perse-kutuan ini, para pemimpin UMNO, MCA dan MIC bertemu untuk men-capai kompromi dalam penyelesaian berbagai masalah daripada berkam-panye dengan mengumpulkan masa yang dapat meningkatkan sentimen antar komunal. Meskipun pelaksa-naan fungsi sistem ini lancar tetapi menuntut tidak hanya menuruti kemauan suatu kelompok elit untuk berkompromi tentang issue komunal tetapi juga kemampuan untuk mendapatkan dukungan dan keya-kinan dari komunitas yang respektif. Sejak merdeka tahun sampai pemilu 1969, orang-orang Cina mendukung Persekutuan mereka kecuali ketika MCA tidak lagi memperjuangkan kepentingan mereka. Dari sudut pandang orang Melayu, UMNO berhasil menjadi partai utama bagi kelompoknya. Tetapi di tahun 1969 mulai kehilangan pendukungnya. Mulai tahun 1969, fondasi sistem ini menjadi amat tidak stabil. Alasan merosotnya peran gaya persekutuan terletak dalam pembangunan sosial-ekonomi sesudah periode kemer-dekaan.

Ekonomi Plural dan Kerusuhan 13 Mei
Tahun 1960 merupakan tahun me-ningkatnya ketegangan sosial dan merupakan ancaman munculnya konflik komunal. Negoisasi kelom-pok elite pada jaman pra-kemer-dekaan pada tahun 1956 dan 1957 telah mencapai pemahaman bahwa orang Melayu akan mendapatkan hak-hak politiknya. Pada saat yang sama posisi ekonomi orang non-Melayu tak akan menimbulkan gang-guan, dan mereka diijinkan untuk memelihara budaya dan tradisinya. Hal itu difahami bahwa dalam jangka panjang akan meningkatkan tingkat ekonomi orang Melayu dan dapat mengembangkan identitas nasional dengan bahasa Melayu sebagai baha-sa nasional. Sementara itu prinsip-prinsip dasar pemahaman itu diterima secara luas pada tahun 1957. Di tingkat bawah pelaksanaan kebijakan tersebut telah meningkat-kan ketegangan antara kelompok Melayu dan non-Melayu tidak sesuai dengan hasil kompromi di tingkat elit.
Pembangunan politik di Malaysia te-lah mengesampingkan latarbela-kang pertumbuhan ekonomi yang mantap, yang antara tahun 1957 - 1970 hanya naik 25 % (Jomo, 1986). Tetapi me-ningkatnya kemakmuran tidak me-rata ke seluruh kelompok masya-rakat. Data yang tersedia menun-jukkan bahwa selama periode itu pendapatan yang paling tinggi naik 10 persen dibanding kenaikan income rata-rata 51 persen sementara 40 persen kelompok lain pendapatannya turun 13 persen (Snodgrass, 1980).

Ketidakadilan menimbulkan dispari-tas komunal. Perbandingan yang timpang antara penduduk non-Melayu dan Melayu di sektor tradi-sional pedesaan berbanding tiga ban-ding satu, sedang di sektor modern baik di perkotaan dan pedesaan lima banding dua. Ketimpangan ini juga tanpak ketika penduduk Melayu bekerja di sektor modern, mereka berada di tingkat bawah karena tidak punya ketrampilan yang memadai. Konsentrasi penduduk Melayu pada jabatan-jabatan yang produktifitas-nya rendah menyebabkan ketimpang-an kemakmuran antar komunal. Pendapatan rumah-tangga penduduk Melayu 172 $ per bulan di banding 304 $ pendapatan penduduk India, Cina 394 $. Jumlah penduduk miskin Melayu di pantai Barat berjumlah 792.000 pada tahun 1970 , 89 persennya tinggal di pedesaan. Meski diklasifikasikan miskin, 74 %-nya orang Melayu, dibanding 65 % (26%-nya. orang Cina dan 39%-nya orang India).. Rendahnya persentasi aktivi-tasnya orang Melayu di sektor eko-nomi modern merupakan bukti bahwa di semua sektor kecuali pegawai pemerintah rasionya lima dibanding tiga untuk orang Melayu.

Keterbelakangan ekonomi masya-rakat Melayu digambarkan dalam statistik pemilikan modal di peru-sahaan-perusahaan di Malaysia Ba-rat. 63.3% modal perusahaan dimiliki oleh orang asing dan 34.3 % dimiliki oleh orang non-Melayu Malaysia, hanya 1.6 % yang dimiliki oleh individu Melayu dan 0.8% oleh pegawai pemerintah . Banyak peru-sahaan yang secara nominal dimiliki oleh para aristokrat, politisi atau pensiunan pegawai negeri yang duduk di dewan direksi atau sebagai direktur; tetapi kontrol atas sektor ekonomi modern ada di tangan orang non-Melayu.

Ketimpangan antar suku dalam menjalan fungsi ekonomi ini sering-kali menimbulkan protes, tetapi pada jaman kolonial masih ditolerir, sua-sana ini berubah ketika merdeka. Orang Melayu mengharapkan UM-NO membela kepentingan mereka tidak hanya di bidang politik tetapi juga memajukan ekonomi mereka. Pada tahun 1960 pemerintah mulai memperhatikan kepentingan ekono-mi orang Melayu. Tetapi pada tahun 1969 problematikanya adalah keterbelakangan dan kemiskinan mereka. Kebutuhan mereka semakin meningkat sejalan tingkat hidupnya yang meningkat.

Tidak hanya orang Melayu yang tidak menikmati pertumbuhan eko-nomi di tahun 1960. Meski orang non-Melayu sudah menduduki posisi dominan sebelumnya dalam berbagai bidang profesi, sebagai pegawai, pedagang dan perdagangan, mayori-tas dari mereka masih dalam kelas bawah. Proporsi orang India dan Cina masih miskin dan mereka tidak per-caya pemerintah telah berusaha memangkas akar kemiskinan sesuai dengan ukuran Melayu. Orang non-Melayu juga menyesalkan kebijakan pendidikan yang lebih ditekankan ke sekolah Menengah yang berbahasa Inggris ketimbang yang berbahasa Tamil dan berbahasa Cina.

Selama tahun 1960-an, ketegangan antar komunal mencapai titik didih. Masuknya Singapura kedalam fede-rasi baru Malaysia tahun 1963 amat berpegaruh terhadap keseimbangan yang tidak direncanakan itu. Radi-kalisme Cina Singapura bergabung dan menambah jumlah etnik yang sudah ada menjadi 42%, seimbang dengan pertambahan penduduk bumiputera dengan masuknya Sabah dan Serawak. Pemimpin muda yang dinamik dari PAP Singapura me-ngendalikan diri untuk tidak terlibat dalam politik di semenanjung. Na-mun mereka simpati terhadap kepe-mimpinan konservatif MCA yang secara efektif dapat melindungi kepentingan orang Cina di seme-nanjung. Kampanye PAP " Malaysia untuk Malaysia" disambut hangat oleh banyak orang Melayu, tetapi orang Melayu menyadari tantangan pada tahun 1957 untuk memahami kelemahan orang Melayu dalam po-litik. Kesenjangan antara PAP dan persepsi sekutu tentang masa depan Malaysia menjadi tak terjembatani sehingga menyulut konflik terbuka. Akhirnya Perdana Menteri mende-pak Singapura ke luar dari federasi tahun 1965. Keputusan itu diambil untuk mengembalikan dominasi poli-tik Melayu yang tak dapat ditawar-tawar lagi.

Periode Singapura menjadi anggota federasi Malaysia yang melibatkan non-Melayu tahun 1957 secara prinsip ditentang orang Melayu. Suasana ini menimbulkan isu baru yang sudah tenggelam 10 tahun lalu dan seperti bom waktu. Konstitusi tahun 1957 yang membolehkan untuk terus menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Melayu secara resmi selama sepuluh tahun. Suasana ini menimbulkan ketegangan untuk mendepak Singapura. Karena adanya desakan orang Melayu untuk meng-gunakan bahasanya sebagai nasional yang sudah digunakan sampai 31 Agustus 1967. Kampanye itu yang didukung secara luas oleh orang Melayu, termasuk banyak tokoh masyarakat di UMNO, tetapi diten-tang keras oleh MCA dan MIC seba-gai partai oposisinya orang non-Melayu. Perdana Menteri Tunku Abdul Rahman, mengusulkan kom-promi yang isinya tetap menggu-nakan "bahasa Melayu" sebagai ba-hasa nasional disamping itu masih diperbolehkan memakai bahasa Ing-gris sebagai bahasa resmi. Meski di-tentang oleh orang non-Melayu un-dang-undang tentang Bahasa Nasi-onal lolos juga (Vasil 1972). Undang-undang tersebut banyak didukung oleh orang Melayu, tetapi di UMNO sendiri, faksi pembelot tidak mem-percayai kepemimpinan Abdul Rah-man lagi dan menimbulkan keru-uhan rasial 13 Mei 1969.

0 Comments:

Word of the Day

Article of the Day

This Day in History

Today's Birthday

In the News