Selamat Datang

Selamat datang di website SimpulDemokrasi. Dalam Situs ini anda dapat menyimak informasi-informasi terbaru tentang Demokrasi di Indonesia. Selain itu komentar, opini maupun analisis tentang topik demokrasi dan penguatan simpul demokrasi juga dapat anda simak, termasuk info-info aktual terkait topik demokrasi negeri ini. Anda bisa berpartisipasi menyemarakkannya disini.
Google

Rabu, 29 Agustus 2007

Saiful Mahdi: Naifnya Demokrasi Kita


Pemilu legislatif sudah selesai dan dianggap sukses oleh banyak pihak ditingkat nasional maupun internasional. Bahkan salah satu pihak internasional, para pemantau dari Uni Eropa, sampai kebablasan saking semangatnya, memberi aplaus terlalu dini untuk sukses itu dan mendapat kecaman dari pemantau dan beberapa LSM Indonesia. Para pengamat, termasuk para Indonesianis--utamanya dari kelompok Ohio, malah sudah melompat lebih jauh dengan menyimpulkan bahwa “Demokrasi Indonesia Sangat Berhasil” setelah melihat sukses pemilu kemarin (Islamlib.com, 23/4). Seolah-olah sukses pemilu sama sebangun dengan suksesnya demokratisasi. William Liddle memang belum berani mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia sudah terkonsolidasi, tapi dia toh berani menyimpulkan bahwa “demokrasi sudah menjadi sistem politik yang normal di Indonesia sekarang.” Optimisme yang wajar mungkin, karena Liddle melihatnya dari desa Brosot, Galur, Kulonprogo, Yogyakarta yang diakunya sebagai “desa saya.”Namun, seperti paradoks di atas, pandangan optimisnya tentang demokrasi di Indonesia jugadibantahnya sendiri dengan menunjuk pada masih adanya “ancaman tentara di beberapa wilayah (Indonesia).” Dari dua pernyataan Liddle yang bertolak belakang itu, mungkin timbul pertanyaan, seberapa optimiskah sebenarnya Liddle dan para pengamat lainnya tentang prospek demokratisasi di Indonesia? Dan yang lebih penting, seberapa optimis atau pesimiskah kita sendiri, tanpa melihat apapun yang dikatakan para pengamat yang ternyata juga punya “mazhab” yang berbeda-beda itu? Atau, bisakah kita optimis pada prospek demokratisasi di sebagian wilayah (umumya di Jawa dan Bali) dan pesimis pada wilayah lainnya (terutama di Aceh, Papua, Ambon, dan Nusa Tenggara)? Lantas, mungkinkah mengharapkan konsolidasi demokrasi di Indonesia ketika ruang-ruang untuk bangkitnya sistem lama yang otoriter makin terbuka di daerah-daerah luar Jawa? Mobokrasi IndonesiaPemilu kali agaknya hanya sendikit lebih baik dari Pemilu 1999. Itupun bukan karena sepinya arak-arakan di jalan seperti kata banyak para pengamat, termasuk Liddle. Demokrasi diIndonesia jelas belum matang dan jelas-jelas masih berupa “mobokrasi.” Mobilisasi pada pemilulegislatif kemarin mungkin tidak banyak lagi dalam bentuk arak-arakan di jalan, pakaian seragam,dan cat rambut, tapi harus diakui bahwa mobilisasi uang dan kekuasaan masih menjadi ciri utama pemilu kita, dus mobokrasi juga. Ketika money politics makin akut; penggunaan kekuasaan untuk memobilisasi pemilih, termasuk cara-cara represif oleh militer dan milisia seperti di Aceh dan Papua, masih terjadi, bisakah dikatakan bahwa demokrasi sudah menjadi sistem politik yang normal? Jangan-jangan hal ini luput dari pengamatan karena halusnya cara orang Indonesia bermain politik.

Bukti demokrasi Indomesia masih berupa mobokrasi jelas dari masih dominannya perolehan suara partai-partai lama, dan munculnya partai-partai baru yang berisi orang lama, yang punyamodal banyak uang dan kekuasaan, faktor penentu kemampuan mobilisasi. Partai Golkar yang terus dihujat sejak digulirkannya reformasi, malah diombang-ambing oleh kasus korupsi ketuanya, Akbar Tanjung, sampai saat ini masih merupakan partai dengan perolehan suara terbanyak. PDIP, walaupun telah kehilangan pamor sebagai partainya wong cilik selama berkuasa dan lemahnya kepresidenan Megawati, masih mampu meraup suara terbanyak kedua di bawah Golkar. PKB masih mengandalkan basis tardisionalnya lewat mobilisasi oleh tokoh-tokoh NU. Kemampuan mobilisasi lewat faktor kekuasaan yang masih dipunyai Hamzah Haz sebagai wapres dan sisa-sisa kepemimpinan PPP sebagai “berkah tak terduga” hasil Pemilu 1999 di sejumlah wilayah, sedikit banyak membantu menghela turunnya lebih drastis perolehan suara partai ini. Sekalipun PBR pimpinan Zainuddin MZ jelas telah mencuri cukup banyak konstituennya. Kalaupun hendak dicatat,sukses sebenarnya dari proses demokratisasi Indonesia adalah fenomena PKS, sebagian dari keberhasilan Partai Demokrat, dan turunnya perolehan suara PAN. Keberhasilan PKS adalah contoh keberhasilan pendidikan politik yang sebenarnya.Pendidikan politik diharapkan akan melahirkan demokrasi yang genuine. Dengan kerja keras dan platform yang jelas, PKS bisa dikatakan meraih suara pemilih tanpa mobilisasi uang dan kekuasaan.Tidak seperti mobilisasi yang dilakukan partai lain, PKS “memobilisasi” orang lewat bukti-bukti nyata kerja anggotanya di parlemen dengan tema-tema populer seperti anti-korupsi, kejujuran, dan keberpihakan pada rakyat. PKS juga tidak punya “tokoh-besar”. Jadi orang memilih PKS secara sadar dan dewasa. Sebagian sukses Partai Demokrat mungkin mirip dengan PKS, yakni menjadi alternatif pilihan yang tampaknya positif. Tapi dominannya pengaruh Susilo Bambang Yudhoyono menunjukkan masih adanya ciri politik tradisional, politik patromonial, yang menyertai penerimaan partai ini oleh publik. Harapan yang terlalu besar pada figur SBY secara tidak langsung merupakan faktor “mobilisasi” yang bisa memanipulasi kematangan proses politik yang diharapkan, untuk tidak menyebut adanya pengaruh mobilisasi lainnya pada perolehan suara partai baru ini. Turunnya suara PAN adalah “success story” lainnya pematangan proses demokratisasi di Indonesia. Melihat musykilnya isu yang tersebar di internet tentang adanya skenario besar untuk menjegal Amien Rais dari kursi kepresidenan, turunnya suara PAN jelas akibat sebuah proses sadar yang dilakukan sebagian konstituennya yang pada pemilu kali ini memberi suara ke partai lain.Apalagi menimbang bahwa konstituen PAN masih didominasi kalangan terdidik di perkotaan, jadi bisa diasumsikan lebih sensitif terhadap mobilisasi.

Mobokratisasi Aceh Kita akan jauh lebih pesimis terhadap prospek konsolidasi demokrasi kalau melihat pemilu lalu dari daerah-daerah di luar pulau Jawa. Apalagi kalau melihatnya dari Aceh yang melaksanakan pemilu dibawah status darurat militer. Bukan saja karena status darurat militer itu sendiri, yang jelas-jelas membawa lebih banyak mudharat dari manfaat dan patut diperkarakan akuntabilitasnya, tapi juga karena usaha-usaha untuk memanfaatkan situasi darurat di Aceh diluar kerangka penyelesaian masalah Aceh itu sendiri. Hal ini terlihat dari dibaliknya logika berfikir oleh sejumlah kalangan. Panglima Kostrad, Jenderal Rymizard Ryacudu percaya bahwa pemilu di Aceh paling sukses karena darurat militer, sehingga konsekwensinya darurat militer perlu diperpanjang. Apalagi rakyat mulai ramai-ramai “meminta” perpanjangan darurat militer seperti yang diberitakan mediabelakangan ini. Absurd-nya logika yang menggunakan hasil pemilu di Aceh justru untuk memperpanjang status darurat militer telah menggerakkan sejumlah lembaga swadaya masyarakat, seperti Cetro, Kontras, Imparsial, Aceh Working Group, Aceh Election Watch dan JARI untuk menyoalkan dan akan membawa masalah pelaksanaan pemilu Aceh ke Mahkamah Konstitusi. Kalangan LSM tersebut percaya bahwa tingginya tingkat partisipasi pemilu di Aceh—yang menurut Pangkostrad sampai 94 persen dan tanpa pemilu ulang, “sangat terkait dengan besarnya pola intervensi, baik yang dilakukan militer maupun jaringan kerja militer seperti kelompok milisi” (Tempointerkatif,21/4). Bukan hanya untuk kalangan LSM, bagi orang awam pun angka 94 persen itu pasti menimbulkan tanda tanya besar. Di Amerika sekalipun, yang proses election-nya dianggap paling baik, rata-rata tingkat partisispasi pemilihnya hanya 40-60%. Tingkat partisipasi yang demikian tinggi seperti di Aceh bahkan tidak terjadi di wilayah lainnya di luar Aceh yang tanpa konflik. Sulit dipercaya bahwa rakyat Aceh sudah demikian “sadar-politik”. Sukses pemilu di Aceh, dengan demikian, hanya bisa terjadi karena mobilisasi oleh militerdan kelompok-kelompok milisi sejak masa kampanye seperti disinyalir kalangan LSM tersebut. Halini diperkuat dengan adanya temuan menjelang hari pencoblosan, dimana kelompok milisi tertentumelakukan razia di daerah-daerah dengan dalih mencari GAM sambil menanyakan KTP Merah Putih dan kartu tanda pemilih (AcehKita.com). Tentu saja “sukses” ini memerlukan banyak korban dan pengorbanan. Yang jadi korban, siapa lagi kalau bukan rakyat kecil, terutama di daerah-daerah yang jauh dari perkotaan di pelosok Aceh sana. Aboepriyadi Santoso dari Radio Netherland menulis dalam kolom Tempo: Tak ada intimidasi dan paksaan aparat secara telanjang, sejauh diketahui. Tapi sejumlah penduduk mengaku, menjelang hari H, ada ceramah-ceramah oleh pihak aparat dan geuchik (lurah) yang meminta penduduk nyoblos. “Kalau tidak, kami tak bertanggung jawab,” kata seorang penduduk menirukan aparat. “Kalian bisa disangka orang liar,” cerita yang lain. Pesannya jelas: kalau kau bukan “oknum GAM”, datanglah ke TPS dan mencobloslah. (Tempo 12-18 April) Pola “sukses” nya pemilu di Aceh masih sama seperti pemilu-pemilu sebelumnya, terutamapemilu semasa Orde Baru: makin jauh TPS dari Banda Aceh, makin jauh TPS dari perkotaan, makin represif suasananya, makin “sukses” Golkar dan partai-partai yang dekat dengan kekuasaan. Ketika di Banda Aceh partai-partai yang dianggap reformis seperti PKS dan PAN menang, maka hampir semua Dati II dimenangkan oleh PPP dan Golkar, dua partai dari masa Orba, plus satu dua kursi untuk PBR, Partai Demokrat, PKPI bahkan Partai Patriot Pancasila dan PDKB. Malah di daerah Aceh Timur, Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Aceh Tengah, dan dua kabupaten baru Aceh Tamiang dan Bener Meriah, Golkar lebih kuat dibandingkan dari pemilu lalu, diikuti partai-partai yang juga mempunyai kemampuan mobilisasi. Partai Demokrat, Partai Patriot, PKPI, dan PDKB mendapatkan kursi justru di daerah pinggiran yang memungkinkan mobilisasi, seperti di Aceh Tengah, Selatan, dan Tenggara. Sebagai misal, Forum LSM Aceh dan kemudian Panwaslu Aceh Tenggara melaporkan adanya TPS dimana semua kartu suara sudah dicoblos untuk Golkar. Dari TPS ini Golkarmendapatkan suara 100 persen, sedangkan rakyat disuruh datang hanya untuk melihat penghitungan suara dibawah penjagaan ketat sejumlah oknum Pemuda Pancasila (Serambi Indonesia). Polakecurangan lama lainnya termasuk: pengangkutan (mobilisasi) masa dengan truk dari luar daerah pemilihan, termasuk luar Aceh, anggota militer yang ikut mencoblos dengan KTP sipil, intimidasi dan money politics dalam berbagai bentuk. Penelusuran terhadap kecurang-kecurangan ini sulit dilakukan karena pengawasan danpemantauan tidak sempurna di Indonesia, konon lagi di Aceh yang berstatus darurat militer. Intervensi dan pengaruh darurat militer tidak hanya terjadi pada pemilih, tapi juga peserta dan pelaksana pemilu. Tapi rakyat dan sejumlah pihak independen mencatat, bahwa pemilu di Aceh, terutama diluar Banda Aceh tidak lebih daripada adu mobilisasi diantara kontestan pemilu. Perbedaan lainnya antara pemilu di Aceh dari pemilu di daerah lain: mobilisasi dilakukan bukan hanya dengan uang dan jabatan, tapi juga dengan represi berbekal senjata. Karena itu, alih-alihmenyuburkan proses demokratisasi, pemilu di Aceh tidak lebih dari pengekalan mobokratisasi. Inilah mobokrasi ala Indonesia di Aceh. Bahaya mobokratisasi Aceh Meskipun terus-menerus kita memaksakan diri untuk percaya dan mewujudkan sebuah imagined community, meminjam istilah Ben Anderson, yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia, seringkali kita berkaca mata kuda dan rabun jauh dalam melihat Indonesia sebagai sebuah kesatuan. Kita maksa jadi Indonesia, tapi malas memikirkan Indonesia. Kemalasan ini terutama terlihat pada politisi sipil yang sasarannya kekuasaan dan kepentingan-kepentingan jangka pendek. Kecenderungan ini bahkan terlihat pada pengamat yang disebut Indonesianis yang seringkali melihat Indonesia dengan pendekatan sangat Jakarta dan Jawa-sentris. Alhasil, diagnosa terhadap sakit-akutnya Indonesia tidak pernah komprehensif. Demokratisasi di Indonesia tidak akan berhasil tanpa memperhitungkan apa yang terjadi diluar Jawa. Karena luar Jawa lah saat ini yang menjadi arena adu kekuatan politik Jakarta yang sebenarnya, khususnya dalam kaitan perpolitikan sipil-militer yang menjadi penentu demokratisasiIndonesia. Reformasi di tubuh militer gagal terwujud karena politisi sipil di Jakarta tidak menguasai politik luar Jawa. Politisi sipil malas dan menyerahkan sepenuhnya masalah Aceh, Ambon dan Papua pada militer karena itulah cara paling mudah dan bisa mereka jangkau. Padahal, bukan tidak mungkin justru apa yang terjadi di luar Jawa adalah skenario pihak tertentu di tubuh militer untuktetap memelihara posisi tawarnya dalam politik Indonesia. Aceh seringkali dianggap tidak signifikan. Kontribusinya terhadap GNP Indonesia terus menurun sampai pada titik hanya 2.3 persen pada tahun 2001. Penduduknya hanya sekitar 4 jutaorang dibandingkan 220 juta lebih penduduk Indonesia. Demikian juga orang sering menganggap enteng apa yang terjadi di luar Jawa karena 2/3 penduduk dan ekonomi Indonesia ada di Jawa. Sehingga apa yang terjadi di Aceh dengan darurat militer dan pemilunya juga tidak layak jual untukdiberitakan oleh media kita. Penduduk Indonesia bahkan ramai-ramai mendukung “nasionalismehitam” sebagai pembenaran bahwa negara lebih penting dari rakyatnya, bukan sebaliknya. Namun siapapun Presiden yang akan terpilih pada pemilihan presiden 5 Juli yang akan datang harus memasukkan masalah Aceh—juga Papua, Poso, dan kini kembali lagi masalah Ambon, dalam kalkulasi politiknya. Apa yang terjadi di daerah konflik ini seolah-olah merupakan pembenaran bahwa siapapun yang ingin menjadi presiden harus mengakomodasi pihak-pihak yang bisa menangani konflik. Dan kita terlanjur percaya bahwa yang “bisa” menangani masalah konflik di Indonesia hanya satuan-satuan militer. Militer terlihat ikhlas melepaskan kursinya di parlemenmulai tahun ini, tapi sipil tetap dibuat terpaksa mengakui lemah tanpa militer. Hasilnya, berlomba-lombalah para capres dan cawapres kita mendekati militer sebagai pasangannya (semoga Gus Dur bisa bertahan dengan pernyataannya untuk tidak akan bekerjasama dengan capres militer seperti yang dimuat KCM 27/4) Keadaan bisa lebih buruk jika tidak ada terobosan untuk menyelesaikan masalah Aceh. Kasus Aceh, dan sejumlah daerah konflik lainnya, akan terus menjadi kartu mati politisi sipil dalam menghadapi militer jika pilihan ke depan adalah memperpanjang darurat militer. Sungguh ironis memang, bahwa perpanjangan darurat militer tidak lagi dilihat sebagai kegagalan menangani masalah Aceh yang berlarut-larut, tapi sebaliknya sudah menjadi bukti “kesuksesan.” Darurat militer tidak lagi dinilai dari suksesnya TNI membasmi GAM, tapi dari tingginya angka partisipasi pemilu. Seolah-olah, bukan saja TNI hebat bermain senjata, tapi kita disuruh percaya bahwa militer juga kampiun demokrasi. Buktinya, Aceh paling sukses dalam melaksanakan “pesta demokrasi”. Setelah pemilu kemarin, semoga politisi Jakarta dan rakyat Indonesia tidak malas lagi. Kita semua harus memikirkan masalah Aceh dan masalah Indonesia lainnya, walaupun orang Aceh-, Ambon-, Papua-Indonesia jauh dari halaman rumah kita. Semoga kita tidak sekedar menerima surat dan perwakilan dari rakyat Aceh yang belakangan marak menyuarakan tuntutan perpanjangan darurat militer tanpa mempertimbangkan bahwa itu semua hanya bagian dari mobokrasi Indonesia yang sedang sangat subur di Aceh karena darurat militer. Kita harus rajin mendengar dan mencari tahu hasrat orang Aceh yang sebenarnya. Dan itu hanya mungkin kita dapatkan ketika mereka, saudara kita orang Aceh-Indonesia, bisa bicara bebas tanpa todongan senjata, tanpa darurat militer.Memang dalam demokrasi suara terbanyak yang disuarakan adalah suara yang menang. Di Amerika dan negara yang dianggap demoktaris lainnya, tidak peduli berapapun angka partisipasi dalam sebuah pemilu atau jajak pendapat, suara yang terbanyak pasti ditetapkan sebagai pemenang. Makanya mobilisasi menjadi sah dalam berdemokrasi. Mungkin kita juga bisa menganggap mobilisasi sah-sah saja dalam proses berdemokrasi di Indonesia. Tapi apakah kita akanmenyamakan mobilisasi sebagai wujud aspirasi murni dan tanpa paksaan dengan mobilisasi lewat uang, kekuasaan, dan untuk Aceh: mobilisasi di bawah darurat militer? Kalau ya, alangkah naifnya demokrasi kita. Namun demikian, bagaimanapun naifnya demokrasi itu, kita toh tetap berhak untuk optimisakan adanya cikal-bakal genuine democracy di Indonesia. Dan perpanjangan darurat militer di Aceh, dengan demikian, harus kita lihat sebagai kegagalan reformasi dan kegagalan usaha kita memelihara demokrasi Indonesia yang masih tradisional dan naif itu.

0 Comments:

Word of the Day

Article of the Day

This Day in History

Today's Birthday

In the News