Mungkin bila saja tidak ada warga masyarakat Kabupaten Lombok Tengah yang bernama Lalu Ranggalawe yang juga anggota DPRD di Kabupaten tersebut, wacana, kontroversi serta hingar bingar pro kontra tentang Calon Independen tidak akan pernah ada. Semua praktisi dan pengamat politik khususnya yang di Jakarta beradu argumentasi bahkan ada juga yang berperan seolah-olah pahlawan atas ditetapkannya Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang diperbolehkannya Calon Independen dalam pencalonannya di pentas kontestasi.
PILKADA, nama Lulu Ranggalawe tenggelam oleh nama-nama besar politisi & pengamat yang memang kesehariannya gemar bicara dengan berbagai media, mungkin selayaknya yang perlu introspeksi bukan hanya Partai Politik saja tapi juga para Pengamat, Pakar & Tokoh LSM yang senang disebut sebagai Tokoh Nasional, rasanya kita malu dan sekaligus selayaknya kita angkat topi atas kecerdasan, keberanian dan kecermatan pada Lulu Ranggalawe.
Lulu Ranggalawe mengajukan permohonan dan berpendapat bahwa UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah khususnya Pasal 56 ayat (2), Pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) huruf a, dan (5) huruf c, ayat (6) dan Pasal 60 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dianggapnya menghilangkan makna demokrasi sebagaimana yang diamanatkan pada Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Pasal-pasal tersebut hanya memberikan hak kepada PARPOL atau gabungan PARPOL dalam mengusulkan dan atau mengajukan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah namun di sisi lain tidak memberi peluang bagi pasangan calon independen, hal ini dikomparasikan (diperbandingkan) dengan dibolehkannya calon independen di daerah Nanggroe Aceh Darussalam [Pasal 67 ayat (1) huruf d UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU Pemerintahan Aceh)].
Berdasarkan hal tersebut, pihak Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya, menjelaskan bahwa ketentuan yang termaktub pada Pasal 67 ayat (1) huruf d UU Pemerintahan Aceh memang membuka kesempatan bagi calon perseorangan dalam proses pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah karena tidak bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945.
Adanya peluang dan kesempatan kepada calon perseorangan bukan merupakan suatu perbuatan yang dilakukan karena keadaan darurat ketatanegaraan yang terpaksa harus dilakukan, tetapi lebih sebagai pemberian peluang oleh penyusun undang-undang dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah agar lebih demokratis. Dengan kata lain Pasal 56 ayat (1) UU No. 32/ 2004 tentang PEMDA dan Pasal 67 ayat (2) UU Pemerintahan Aceh tidak ada pelanggaran terhadap Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945.
Berdasarkan kajian tersebut Mahkamah Konstitusi berketetapan bahwa pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara perseorangan di luar Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam haruslah diperkenankan/dibuka agar tidak terdapat dualisme pelaksanaan ketentuan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 karena dapat menimbulkan terlanggarnya hak warga negara yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945.
Selain itu Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan adanya beberapa pasal dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang hanya memberi kesempatan kepada partai politik atau gabungan partai politik dan menutup hak konstitusional calon perseorangan dalam Pilkada bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam uraiannya, Mahkamah Konstitusi menyampaikan pasal-pasal yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tersebut antara lain: Pasal 56 ayat (2) yang berbunyi, ”Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik”; Pasal 59 ayat (1) sepanjang mengenai frasa “yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik”; Pasal 59 ayat (2) sepanjang mengenai frasa ”sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”; Pasal 59 ayat (3) sepanjang mengenai frasa “Partai politik atau gabungan partai politik wajib”, frasa ”yang seluas-luasnya”, dan frasa “dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud”.
KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Setelah melewati berbagai pentahapan persidangan dan adu argumentasi para hakim Mahkamah Konstitusi, walaupun ada tiga orang Hakim Konstitusi yang mengemukakan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni H. Achmad Roestandi, I Dewa Gede Palguna, dan H.A.S. Natabaya, namun akhirnya secara institusi Mahkamah Konstitusi menetapkan :
Pasal 56 ayat (2) berbunyi, ”Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik” dihapus seluruhnya, karena menjadi penghalang bagi calon perseorangan tanpa lewat parpol atau gabungan parpol. Sehingga, dengan hapusnya Pasal 56 ayat (2), Pasal 56 menjadi tanpa ayat dan berbunyi, ”Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”;
Pasal 59 ayat (1) dihapus pada frasa yang berbunyi, ”yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”, karena akan menjadi penghalang bagi calon perseorangan tanpa lewat parpol atau gabungan parpol. Sehingga, Pasal 59 ayat (1) akan berbunyi, ”Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon”;
Pasal 59 ayat (2) dihapus pada frasa yang berbunyi, ”sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”, hal ini sebagai konsekuensi berubahnya bunyi Pasal 59 ayat (1), sehingga Pasal 59 ayat (2) akan berbunyi, ”Partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan”. Dengan demikian, Pasal 59 ayat (2) ini merupakan ketentuan yang memuat kewenangan parpol atau gabungan parpol dan sekaligus persyaratannya untuk mengajukan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam Pilkada;
Pasal 59 ayat (3) dihapuskan pada frasa yang berbunyi, ”Partai politik atau gabungan partai politik wajib”, frasa yang berbunyi, ”yang seluas-luasnya”, dan frasa yang berbunyi, ”dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud”, sehingga Pasal 59 ayat (3) akan berbunyi, ”Membuka kesempatan bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.” Dengan demikian, terbukalah kesempatan bagi calon perseorangan tanpa lewat parpol atau gabungan parpol. (bersambung)
Penulis lahir di Cirebon, aktif dalam berbagai organisasi Kemasyarakatan (The Indonesian Crisis Centre, DPP Koalisi Rakyat Indonesia, Biro Survey Independen, dll) serta sebagai Wakil Ketua Dept. Kebijakan Politik & Pemerintahan DPP Partai Demokrat.
Selamat Datang
Selamat datang di website SimpulDemokrasi. Dalam Situs ini anda dapat menyimak informasi-informasi terbaru tentang Demokrasi di Indonesia. Selain itu komentar, opini maupun analisis tentang topik demokrasi dan penguatan simpul demokrasi juga dapat anda simak, termasuk info-info aktual terkait topik demokrasi negeri ini. Anda bisa berpartisipasi menyemarakkannya disini.
Kamis, 06 September 2007
CALON INDEPENDEN & DEMOKRASI POLITIK INDONESIA (Bag. I) [Oleh : Drs. Mohamad Sukri*]
Diposting oleh Iwan Ira W Tanggal Kamis, September 06, 2007
| Hotlinks: DiggIt! Del.icio.us
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
Word of the Day
exacta | |
Definition: | A method of betting, as on a horserace, in which the bettor must correctly pick those finishing in the first and second places in precisely that sequence. |
Synonyms: | perfecta |
Word of the Day
provided by The Free Dictionary
Article of the Day
Article of the Day
provided by The Free Dictionary
This Day in History
This Day in History
provided by The Free Dictionary
Today's Birthday
Today's Birthday
provided by The Free Dictionary
In the News
In the News
provided by The Free Dictionary
0 Comments:
Post a Comment