DENGAN kebanggaan sering disebut-sebut sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia ini, apakah sudah benar makna demokrasi kita dalami dalam berbagai kehidupan kebangsaan kita? Dan mengapa akhir-akhir ini yang kita temui adalah defisit atas makna demokrasi itu sendiri?
Jika demokrasi hanya dimaknai sebagai bagaimana kita menyelenggarakan pemilihan umum sukses tanpa konflik, kita telah melaksanakannya. Tapi sejauh mana hal tersebut berimplikasi terhadap kehidupan masyarakat dan negara sehari-hari?
Demokrasi yang sehat terjadi bila terdapat penegakan hukum yang bebas dari kepentingan politik dan kekuasaan. Namun makna ini nyatanya mengalami defisit yang sangat dalam. Hukum kita meradang, karena baru bisa mengadili bila mendapatkan tekanan. Hukum kita bekerja di bawah bayang-bayang kekuasaan. Korupsi yang makin beragam modus operandinya semakin mempersulit bagaimana ia seharusnya bekerja, dan sebaliknya membuatnya semakin mudah diperdayai.
Defisit demokrasi terjadi ketika dalam kehidupan sehari-hari kita dijebak oleh apa yang dinyatakan oleh Riggs (1985) sebagai ”formalisme”. Artinya, apa yang sudah menjadi cita-cita dan garis besar yang sudah ditulis dan disepakati semakin jauh dari apa yang seharusnya dipraktikkan. Riggs menyebut karakter ”formalisme” itu hidup dalam masyarakat prismatik, yakni sebuah situasi transisi masyarakat yang mendapatkan tekanan dari nilai-nilai ”tradisionalisme” dan ”modernisme” sekaligus dan melakukan kehidupan sehari-harinya secara tumpang-tindih, penuh ketidakjelasan.
Demokrasi kita hidup dalam masyarakat peralihan ini. Hukum-hukum hanya dijadikan hiasan dan seringkali semakin diperbanyak tanpa arah yang jelas. Kesejahteraan sosial yang diamanatkan konsititusi, hanya sekedar tulisan hampa tanpa makna. Sebab realitas perilaku kehidupan penguasa seringkali menjauhi amanat konstitusi.
Masyarakat yang miskin, teruslah miskin, dan yang kaya teruslah kaya. Jurang kehidupan yang demikian lebar ini tentu tidak bisa hanya diselesaikan dengan memberikan makna demokrasi hanya sebagai ”alat untuk memilih pemimpin”.
Demokrasi kita tidak mendalam dan hanya tampil sebagai simbol-simbol saja. Reformasi hanya berada di permukaan, hanya untuk menenangkan publik atau bahkan untuk mengelabuhinya. Dampak reformasi sejauh ini masih samar-samar. Ironisnya mulai terdengar suara sinis di sana sini akan keberhasilan reformasi mengubah kehidupan lebih baik.
Terlalu sering kita mendegradasi nilai hakiki dari demokrasi, sengaja atau tidak. Kita terjebak paka pemaknaan demokrasi artifisial, dan terkadang lebih parah menjadikannya sebagai topeng dari segudang kepalsuan.
Dari warga korban semburan lumpur di Porong, bagaimana mereka memaknai demokrasi sebagai solusi kehidupan ketika aspirasi sering buntu dan tidak didengar?
Kajian Demos cukup menarik disimak, terutama mengenai demokrasi yang kian hari kian tergerus dan mengalami defisit. Dalam risetnya untuk demokrasi Indonesia pasca Orba (2003-2005), ditegaskan adanya empat gejala pokok, yakni defisit demokrasi, demokrasi oligarkis, representasi semu dan marjinalisasi kelompok pro demokrasi. Empat gejala ini menjadi petunjuk terbaik untuk menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia semakin terancam keberadaannya.
Demokrasi sering dibajak ”pasar hitam” yang menggunakan politik untuk memperkaya diri sendiri. Demokrasi kehilangan makna dalam memperjuangan kesejahteran bersama. Inilah yang membuat wajah demokrasi tercoreng. Aktornya tidak mampu memberikan alternatif dalam menata keseimbangan antara negara dan pasar.
Memang betul rakyat adalah stempel kekuasaan. Tapi yang ironis adalah bila rakyat ”hanya dijadikan” sebagai stempel kekuasaan. Perbedaannya, bila yang pertama mengisyaratkan peran aktif dan kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat, yang kedua justru mengesankan rakyat sebagai obyek yang dipermainkan para elitnya.
Keputusan-keputusan penting menyangkut hajat hidup orang banyak bukan dibuat atas dasar keadilan sosial, melainkan atas dasar kendali mekanisme pasar –yang telah mengelabuhi para pejabat publik. Aparatur negara menyelewengkan fungsinya, mencari kesempatan di tengah kesempitan, berusaha semolek mungkin mengelabuhi publik. Keadilan adalah sandiwara. Dari sini, defisit demokrasi itu kian tajam dan mendalam.
Demokrasi dilontarkan hanya sebagai wacana di balik segala perilaku penguasa yang tidak demokratis. Demokrasi hanya dijadikan sebagai topeng sandiwara akbar kebangsaan ini. Penguasa dan pemodal-lah yang berdaulat penuh atas negeri ini. Rakyat hanya dibuat seolah-olah berdaulat, nyatanya kepentingan-kepentingannya diabaikan.
Sampai kapan kita memelihara defisit demokrasi ini?
BENNY SUSETYOPendiri Setara Institute(dimuat Kompas, Mei 2007)
Selamat Datang
Selamat datang di website SimpulDemokrasi. Dalam Situs ini anda dapat menyimak informasi-informasi terbaru tentang Demokrasi di Indonesia. Selain itu komentar, opini maupun analisis tentang topik demokrasi dan penguatan simpul demokrasi juga dapat anda simak, termasuk info-info aktual terkait topik demokrasi negeri ini. Anda bisa berpartisipasi menyemarakkannya disini.
Kamis, 06 September 2007
Benny Susetyo: Defisit Demokrasi
Diposting oleh Iwan Ira W Tanggal Kamis, September 06, 2007
| Hotlinks: DiggIt! Del.icio.us
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
Word of the Day
nonentity discuss | |
Definition: | (noun) A person of no influence. |
Synonyms: | nobody, cipher |
Usage: | After losing the gubernatorial election, she was written off as a political nonentity. |
Word of the Day
provided by The Free Dictionary
Article of the Day
![]() ![]() The Nika RiotsNearly half of Constantinople was destroyed and some 30,000 people were killed in the Nika riots of 532 CE. Chariot racing was quite popular at the time, and rivalries between the fans of competing teams often became mingled with political or religious disputes, sometimes leading to riots. The Nika riots began when spectators at a chariot racing event, angered by the emperor's refusal to pardon two rioters accused of murder, started attacking his palace. How was the rebellion finally suppressed? More... Discuss |
Article of the Day
provided by The Free Dictionary
This Day in History
![]() ![]() "Casey at the Bat" Published in the San Francisco Examiner (1888)"Casey at the Bat" was one of the most popular poems in late 19th-century America. Recited in vaudeville performances and later taken up by many celebrities, the poem tells the story of an overconfident baseball player—the "mighty Casey"—who strikes out while trying to show off. Ernest Thayer, who wrote the poem, avoided acknowledging authorship for many years because he thought it was embarrassingly bad. Which two real-life towns have laid claim to being the Mudville mentioned in the poem? More... Discuss |
This Day in History
provided by The Free Dictionary
Today's Birthday
![]() ![]() Raoul Dufy (1877)Dufy was a French designer and painter best known for his outdoor scenes of gaiety and leisure, like horse races, parades, and concerts. He also designed textiles and illustrated books. Dufy studied at the École des Beaux-Arts in Paris and experimented with Impressionism and, later, Fauvism. In the early 1920s, he developed his distinctive style characterized by sketchily drawn objects on bright, decorative backgrounds. Later, he completed one of the largest modern paintings, an ode to what? More... Discuss |
Today's Birthday
provided by The Free Dictionary
In the News
In the News
provided by The Free Dictionary
0 Comments:
Post a Comment