''Proklamasi. Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarkan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Jakarta, 17 Agustus 1945. Atas nama bangsa Indonesia,
Soekarno-Hatta''
Di kediamannya Kepuh Utara RW. III RT. 09 Karangploso, dengan tegas dan lugas Perda Purn. Rochin yang kini sudah berusia 83 Tahun mengingat teks proklamasi kemerdekaan Indonesia yang diucapkan 62 tahun silam dari gedung bersahaja di Pegangsaan Timur 56 Jakarta oleh Bung Karno dan Bung Hatta yang berdiri di sampingnya, itu adalah moment bersejarah bagi Bapak Rochin (Veteran Republik Indonesia) yang berjuang, membela dan mempertahankan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tentunya bagi bangsa Indonesia.
Begitu tegas dan bersahaja ketika Bapak Rochin berbicara dan bercerita mengenai perjuangannya dulu merebut kemerdekaan sampai dia pun mendapatkan penghargaan dari Presiden Soekarno dan penghargaan-penghargaan lainnya seperti Medali Sewindu Angkatan Perang RI tahun 1954, Satya Lentjana Kesetiaan tahun 1961, Lencana Cikal Nakar Tentara Negara Indonesia atas nama Presiden Republik Indonesia Soeharto tahun 1990, Satyalantjana Gerakan Operasi Militer II tahun 1959, Tanda Jasa Pahlawan dalam Perjuangan Gerilya Membela Kemerdekaan Negara tahun 1958, Satya Lentjana Sapta Marga tahun 1959, Satyalantjana Peristiwa Aksi Militer ke Satu dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Bapak Rochin yang kelahiran 1924 adalah pejuang tentara Jepang (HEIHO) selama 1 tahun tapi di kerjakan oleh Jepang selama 3 tahun, pejuang angkatan 45, BKR, TKR, TRI dan TNI. Selama pengabdiannya kepada Negara dan pernah menjadi ketua Ex- HEIHO Indonesia Forum Daerah Komunikasi Propinsi Jawa Timur, mengharapkan kepada Negara Tercinta Republik Indonesia, para pewaris kemerdekaan, mari bersama-sama membangun bangsa ini kembali, jangan ada lagi rakyat kita yang terbelit dan tercekik oleh tangan-tangan yang tidak kelihatan, jangan ada lagi pengangguran yang makin lama makin membengkak apalagi biaya hidup kita kini makin terus meningkat, moment-moment bersejarah penting untuk di ingat dan semangat para pejuang kemerdekaan perlu untuk di tiru, ungkap Bapak Rochin kepada Simpul Demokrasi. (Iwan).
Selamat Datang
Minggu, 22 Juli 2007
[+/-] |
Mari Bersama-sama Membangun Bangsa ini Kembali |
Selasa, 17 Juli 2007
[+/-] |
Arus Besar Demokrasi yang Hakiki |
Perjalanan Demokrasi sekarang ini tidak berhenti pada tataran politik tingkat atas saja, tetapi sekarang sedang merambah di ranah pedesaaan. Melalui sebuah kesepakatan bersama menyelam dalam prosesi demokrasi di Dusun Sumberrejo. Memang terlihat agak aneh bahkan begitu tidak menarik dimata sebagian elit politik Kabupaten Malang. Dilihat dari kacamata politik praktis memang terkesan tidak membawa dampak yang menarik apalagi menguntungkan. Akan tetapi yang harus diperhatikan benar-benar bukan hal yang disebutkan diatas yang menjadi soal, tetapi bagaimana Demokrasi sendiri menjadi amat menjanjikan perubahan bagi masyarakat pedesaan. Dimata masayarakat hal ini sungguh-sunguh sangat mengagumkan, dan cenderung membawa proses transformasi yang jelas pada mereka.
Sesuatu yang sejak lama tidak pernah terlintas pada masyarakat Dusun Sumberrejo untuk mengikuti sebuah tahapan dalam demokrasi. Selama ini yang mereka kenal adalah bagaimana urusan-urusan yang berkaitan dengan sebuah proses pemilihan seorang pemimpin hanya sampai pada tataran pencoblosan. Sedangkan dari mana, siapa dia, untuk apa, serta bagaimana nantinya seorang calon pemimpin, tidak pernah mereka ketahui benar. Apalagi ini berlangsung di dusun sendiri tentu membawa suatu yang sangat progress dalam kehidupan berpolitik mereka.
Konvensi calon pemimpin memang sudah ada sejak lama, tetapi mempunyai kecenderungan hanya menjadi semacam penghias belaka. Konvensi menjadi terkenal sampai pada pendengaran masyarakat, memang dipopulerkan tanpa sengaja oleh salah satu partai politik yang ada di Indonesia. Tentu disini tidak perlu untuk membahas partai apa itu, tetapi yang perlu kita cermati bersama adalah proses pendewasaan politik para warga di pedesaan. Kabupaten Malang memiliki 23 kecamatan, desa sebanyak 400 lebih apalagi jumlah dusun di kabupaten tentu dapat dipastikan betapa banyak jumlahnya.
Tetapi menjadi sensasi ketika dusun inilah bermula proses konvensi (18 dan 25 Maret) pada tanggal 18 Maret 2007 untuk mempersiapkan kandidat dalam rangka menyambut PILKADES Desa Kalisongo. Proses demokrasi ini dimulai dengan penyampaian Visi dan Misi para Calon Kades, yang diikuti oleh tiga kandidat. Dapat dipastikan calon-calon tersebut telah mengantongi ijin dari para masyarakat yang mendukung mereka, serta diniati untuk menjadikan Desa ini lebih sejahtera tentunya.
Ketika ada beberapa orang yang menanggapi miring tentang bagaimana proses demokrasi ini dapat berjalan tanpa bantuan uang dari Broker. Warga dan para calon Kades dapat menjawabnya, mereka menunjukan bagaimana keuangan dalam proses konvensi hingga konvensi dapat diatasi dengan keringat serta kemauan para warga untuk membantah tuduhan miring tersebut.
Ditemui dalam kegiatan Sekolah Demokrasi II, Ahmad Yani. “bagaimanapun kita semua harus bertanggung jawab dengan apa yang kita lakukan. Apalagi terhadap perkembangan masyarakat dimana kita berdiam. Dengan hal ini, kedepan dusun tidak hanya dianggap sebagai dusun tempat orang tak mengetahui segala bentuk perubahan. Justru dari dusunlah demokrasi akan benar-benar menjadi sesuai dengan nilai luhurnya dan masyarakat pinggiran tidak dianggap terbelakang” Ungkap peserta Sekolah Demokrasi ini.
Hal yang sama juga di amini, oleh salah satu pengurus BPD Heru Iswanto. Dengan semangat yang begitu tinggi beliau menjelaskan, “proses penjaringan Calon Kepala Desa kami serahkan sepenuhnya pada masyarakat dusun ini. Hingga di kemudian hari bagaimana calon terpilih dapat memenuhi prioritas program mana yang harus segera dilaksanakan untuk kemajuan desa Kalisongo”.
Acara ini sendiri diikuti oleh tiga calon. Untuk yang pertama, dalam menyampaikan visi dan misi adalah Siswanto, kemudian Slamet, dan yang terakhir yang menyampaikan paparan adalah Satuman. Ketika melihat langsung acara tersebut tampak begitu bersemangatnya para warga dusun untuk melihat lebih dekat para calon kades dari tempat mereka.
Banyak pertanyaan maupun kritikan yang langsung dialamatkan pada tiga calon Kades tersebut. Memang hal ini tidak sedikit membuat para calon tersebut terlihat gugup dalam menanggapinya, akan tetapi dengan semangat kuat hal tersebut tidak mengurangi subtansi dari acara demokrasi tersebut. Pertanyaan warga yang ditujukan pada calon-calon tersebut dapat dirumuskan menjadi tiga pokok besar. Permasalahan yang pertama, adalah tentang Pemberdayaan Perempuan. Kedua, tentang Pengembangan Pemuda Desa. Serta ketiga dan terakhir adalah, Nilai dan Potensi Desa.
M.Takim (65) Linmas Desa Kalisongo, tidak dapat menyembunyikan rasa bahagianya atas proses demokrasi ini. “Saya yang berdiam di desa ini sejak lahir sampai usia saya seperti ini, baru kali ini ada proses konvensi untuk menentukan calon dalam rangka Pilkades. Padahal selama ini tidak pernah ada proses konvensi yang seperti ini disini atau bahkan dusun lain yang ada di Kabupaten Malang.
Pada hari Minggu (25/03/2007), di laksanakan konvensi dengan mengundang seluruh warga dusun Sumberrejo. Begitu meriahnya pesta demokrasi, seakan warga diajak untuk mengingat kembali memori Pemilu Presiden tahun 2004. Dalam melakukan konvensi ini di bantu oleh Suparto (Kasun), Priyo (Tokoh Masyarakat), Winsubsto (Sek. Forkom), dan juga beberapa Aparatur Desa Kalisongo. Dengan menggunakan pakaian daerah, para panitia pelaksana terlihat menarik. Beberapa aparat dari Koramil juga terlihat membantu proses keamanan dari pesta demokrasi ini.
Pada saat hasil perhitungan dibacakan, maka tampak wajah ketiga calon terlihat berharap-harap cemas. Dari hasil perhitungan tersebut diperoleh jumlah suara untuk Siswanto sebesar 516 suara, dibayang-bayangi oleh Slamet dengan perolehan suara sebesar 507, kemudian ditempat terakhir diisi Satuman 497 suara. Maka pada tahap akhir dari konvensi dusun Sumberrejo terpilihlah Siswanto, untuk mewakili seluruh warga dusun dalam Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) Kalisongo. (ONALD)
Minggu, 15 Juli 2007
[+/-] |
PEMKAB Malang Wajib Membangun Tempat Hiburan Bagi Anak Orang Miskin |
By: Piss
Wawancara : Arena Dwi Joko Suhartoko
Kemerdekan bagi anak itu adalah dimana dia bisa bebas bermain mengespresikan apa yang ada dalam jiwanya. Seperti belari-lari, tertwa dan mengimajinasikan seorang tokoh atau binatang yang ada di pikirannya. Seperti kata Karil Gibran bahwa anak itu punya jiwa sendiri. Kita sebagai orang tua sifatnya hanya mengawasi agar dia tidak terserempet hal-hal yang membahayan jiwanya. Kita tidak bisa menjadikan anak seperti apa yang kita inginkan. Pada dasarnya manusia hidup itukan sifatnya sangat pribadi artinya model hidup nikmat yang bagaimana itu hanya dia yang bisa membentuknya. Tapi manusia juga dituntut untuk membangun keseinmangan di dalam alam ini. Karena apa yang terjadi alam ini nanti manusialah yang paling bertanggung jawab. Kata pendamping anak jalanan yang sudah 4 tahun bersama Yayasan Anak Alam. Dan sekarang sebagai staf pengajar di SMA Santi Arbertus atau di SMAK Dempo mengajar mata pelajaran wajib kesenia tater.
Kalau bicara anak berarti tidak lepas dari pendidikan, nah pendidikan yang terjadi hari ini anak bukan dihadapkan dengan persoalan tapi menghindari persoalan. Sebaiknya yang harus dilakukan mulai dengan menyentuh hatinya atau kotnitifnya lalu afektifnya. Artinya melalui seni mereka kita sentuh hatinya setelah itu baru pola pikirnya. Sebenarnya mata pelajaran seni itu sama nilainya dan manfaatnya dengan pelajaran agama, matematika, PPKN, fisika dan yang lainnya. Kalau saya melihat pendidikan yang dilakukan sekarang lebih pada pola pikirnya saja. Dan yang bersifat membangun jiwanya justru sangat sedikit. Sehingga rasa memilkiki dan tanggung jawab terhadap alam dan lingkungan di sekitarnya sangat kurang. Mereka lebih mengutamakan kesenangan yang bersifat peribadi. Artinya mereka kurang bisa menghargai alam, lingkungan sekitar termasuk orang tua teman dan guru-gurunya. Karena tanpa hati hasil sebuah ilmu pengetahuan bukan membuat kebaikan tapi malah sebaliknya. Yang kami lakukan biasanya dengan anak-anak jalanan dengan berdialog analisa sosial seperti memberitahu hak dan kewajiban seperti apa tugas polisi apa, tukang becak, supir mikrolet, mobil bagus-bagus yang lalu lalang di jalanan. Dengan begitu jiwa nasionalis akan tumbuh di hatinya dengan sendiri. Ditambahkan jebolan ISI Jogja ini yang bulan September malanjutkan S1 nya di sekolah tinggi seni Wiratirta Surabaya.
Ada 10 konvensi hak anak yang telah di wajibkan oleh PBB. Yang pertama Gembira, Pendidikan, Perlindungan, Makanan, Kesehatan, Rekreasi, Nama, Ras atau Kesukuan, Kebangsaan, Peran dalam pembangunan. Kalau di negara inikan sudah tertantum dalam UUD bahwa negara wajib memfasilitasi pendidikan bagi anak-anak. Nah kalau di Indonesia yang pasti semuanya belum terpenuhi secara total. Misalnya ini kalau Mendit jadi bagus nanti otomatis tiketnya mahal jadi anak-anak yang secara ekonomi masih lemah tidak punya lagi tempat-tempat hiburan. Jadi perlulah Pemerintah Kabupaten Malang juga membangun tempat-tempat hiburan bagi anak-anak orang miskin.
Untuk membangun bangsa ini harus belajar dari anak dan juga seperti sebuah hasil karya seni yang monumental, yaitu dengan kejujuran. Tanpa didasari dengan sebuah kejujuran kita bisa lupa dengan diri sendiri, tak menyadari kekurangannya, dan lupa apa sebenarnya kita hidup di dunia ini. Dan kejujuran itu juga bagian dari nilai-nilai demokrasi. (Piss)
[+/-] |
Makna “Kemerdekaan“ Bagi Rakyat Kecil |
Tinggal Beberapa Minggu lagi ulang tahun Kemerdekaan RI ke 63 akan kita rayakan bersama baik oleh rakyat prasejahtera, maupun rakyat yang sejahtera. Kita bergembira dan berbahagia karena ini adalah hari peringatan pembebasan dari kekejaman “Penjajah“. Maka terlihatlah partisipasi tulus seperti mengganti Pagar, mengecatnya, memasang Umbul-umbul dan Bendera bahkan mengecat dego-dego dengan warna heroik Merah Putih sambil menuliskan “Dirgahayu Kemerdekaan RI Ke 63“.
Alangkah tulusnya mereka memaknai hari bersejarah itu, mereka tidak pernah surut cintanya pada tanah airnya Indonesia, walaupun republik ini dihiasi oleh berita-berita korupsi, penyeludupan, ketidak adilan dan berita-berita lainnya yang mengecewakan, dimana seharusnya mereka sudah terbebas dari penjajahan ekonomi, politik, pendidikan, dan lain-lain. Tapi barangkali masih ada seberkas cahaya optimisme di kalbu dan pikiran rakyat kecil, setelah mencermati beberapa kebijakan Pemerintahan SBY, yang langkah-langkahnya mulai menebar senyum dikalangan rakyat, yang mendambakan makna sebenarnya sebuah kemerdekaan. Tapi optimisme rakyat kini kembali menjadi kekecewaan, figur kebijakan pemerintah sekarang hanya sebatas senyuman kecil untuk rakyat tanpa ada tindakan untuk membangkitkan mereka dari keterpurukan hidup selama ini dan kini nasionalisme bangsa terasa kian meredup sinarnya. Sebab utamanya adalah kian maraknya praktik negatif kekuasaan. Mulai dari buruknya kinerja serta rusaknya etika birokrat, elite politik, para penegak hukum, tindakan-tindakan represif negara, sampai pada ketidakadilan pembagian "kue pembangunan" telah mengakibatkan makin menguatnya gejala ketidakpatuhan sosial di dalam masyarakat. Hal itu kemudian mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap Negara, seperti halnya Ibu Sumiatun saat di tanya Simpul Demokrasi yang tinggal di perkampungan pemulung Lopadas Kota Malang Kecamatan Blimbing, “biarlah kemerdekaan ini terus kita songsong bersama-sama, kita rayakan untuk para pejuang tanah air kita, tapi yang saya harapkan adalah keluar dari tempat ini, membangun rumah sekalipun kecil dan mendidik anak-anak saya agar tidak seperti saya. Jangan mengharap uluran tangan dari pemerintah, karena saya tahu dia tidak akan memprihatikan kita, maka kitalah yang harus berusaha sendiri sekalipun memang susah, karena saya “sambil menangis”, dari kecil sampai sekarang hidup saya susah, maka dari itu jangan sampai anak-anak saya merasakan hal yang sama seperti saya”, tuturnya.
Begitu pula dengan Pak Karwan, nelayan Sendang Biru Kabupaten Malang dan Pak Rudianto, petani sayuran di Sendang Biru mengatakan “Selama pertanian dan perikanan belum dapat memberikan pendapatan yang wajar untuk merubah rumah rewot menjadi layak huni, mampu membiayai pendidikan anak-anak kami. Masihkah kita merasa bahwa hasil kemerdekaan telah dirasakan rakyat-rakyat kecil seperti kami! selama nelayan belum menikmati pendapatannya sebagaimana yang diterima oleh pemilik warung/restoran “Sea Food“, Masihkah kita mengatakan kita sudah memerdekakan petani/nelayan dari penjajahan ekonomi, seharusnya mereka (elite politik) paham betul tentang hal ini dan benar-benar mereka bekerja untuk kepentingan kami semua, tandasnya”,
Dengan kemerdekaan negara Indonesia yang tidak akan lama lagi kita rayakan, Hari Proklamasi 17 Agustus yang ke 63 kalinya berarti kita semua sepakat bahwa masih banyak yang harus dibenahi, agar kita benar-benar merdeka dari berbagai resiko bencana sosial dan ekologi yang ada disekeliling kita. Mari mulai menata dengan merencanakan ulang pembangunan secara lebih pratisipatif, ekologis dan berkelanjutan, agar ketika kita mempersoalkan kemerdekaan kita dimasa depan, kita telah merdeka dari berbagai resiko bencana dan kita tidak boleh melupakan begitu saja apa yang telah terjadi di masa lalu, sebagai pelajaran bagi generasi kita dewasa ini dan generasi di masa datang. Dengan mengingat pengalaman masa lalu, maka kita bisa memandang dengan lebih jernih arah yang perlu ditempuh oleh bangsa kita di masa depan. Sebab, masih banyak sekali kerusakan-kerusakan parah yang dibikin Orde Baru yang harus diperbaiki, di samping adanya begitu banyak masalah-masalah baru yang muncul. Oleh karena itu, bagi rakyat Indonesia tidak ada jalan lain, kecuali meneruskan perjuangan revolusioner untuk menuntaskan reformasi dan membersihkan tanah-air dari sampah-sampah Orde Baru, sambil terus mengkonsolidasi demokrasi. Dirgahayu-lah Republik Indonesia yang ber Bhinneka Tunggal Ika!. (Iwan).
Selasa, 10 Juli 2007
[+/-] |
Tulus Hariyanto: Pilkades Mempercepat Proses Pembangunan Kabupaten Malang |
Memang tidak mudah untuk melaksanakan pilkades serentak di Kabupaten Malang. Apalagi hal ini merupakan sesuatu yang baru, di mana mayoritas desa di Kabupa-ten Malang serentak melakukan pemilihan kepala desa. “Memang, kendala akan selalu ada, di manapun, jadi bukan hanya pada pelaksanaan pilkades serentak ini saja. Menurut yang saya cermati dari 230 desa yang melaksanakan pilkades, hanya beberapa desa yang mengalami kendala. Itupun tidak fatal. Riak-riak kecil yang muncul sejauh ini, berhubungan dengan penafsiran terhadap peraturan pilkades yang ada. Misalnya, permasalahan yang muncul dari ketentuan bahwa calon kepala desa harus pendu-duk desa setempat. Kalau dulu penduduk adalah orang yang lahir di tempat tersebut. Sedangkan sekarang pengertian tentang penduduk desa setempat, adalah orang yang sewaktu lahir dan pindah disertai surat kete-rangan pindah dari tempat terdahulu dan ia berkela-kuan baik, maka ia dapat disebut penduduk se-tempat,” papar Tulus Haryanto, Kepala Bagian Pemerintah-an Desa Pemerintah Kabupaten Malang ketika ditemui Simpul Demokrasi di kantornya.
“Beberapa waktu terakhir, mungkin banyak berita miring berkaitan dengan proses pilkades ini. Seperti beberapa persoalan mengenai Pegawai Negeri Sipil yang ikut bursa pilkades. Menurut saya, ini tidak masalah. Toh bila seorang PNS terpilih sebagai kepala desa, hak-haknya sebagai PNS tetap ada. Namun, hak-hak sebagai Kepala Desa tidak ia dapatkan. Mungkin, dapat disimpulkan bahwa seorang PNS tersebut hanya pindah tugas sebagai kepala desa. Sama seperti Lurah, tetapi melalui mekanisme pemilihan langsung warga.”
Lebih jauh, Tulus mengakui bahwa anggaran yang diberikan APBD dalam proses pilkades ini sangat sedikit, yakni lima juta rupiah, jauh dari anggaran riil di desa-desa yang melebihi angka puluhan juta rupiah. “Saya kira, pendapat beberapa anggota DPRD yang mengatakan anggaran pilkades dalam APBD harus mencapai angka dua puluh juta rupiah itu masih sekedar wacana. Pemerintah Kabupaten Malang sejauh ini, hanya menetapkan lima juta rupiah saja. Selanjutnya kekurangan dana menjadi tang-gung jawab desa dan warga, seperti: iuran warga, calon kepala desa, dan juga pengusaha yang ada di desa tersebut.”
“Dalam pelaksanaan pilkades ini, sesungguhnya yang paling bertanggung jawab adalah panitia yang dibentuk oleh Badan Permu-syawaratan Desa (BPD). Setelah membentuk panitia pilkades, tugas BPD adalah memantau pelaksanaan pilkades. Jadi pelaksanaan pilkades ini saya kira sudah sangat otonom, karena tidak ada campur tangan Peme-rintah Kabupaten Malang untuk memilih panitia. Hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan pilkades sudah diselesaikan di tingkat BPD dan panitia pilkades. Aparat di tingkat kecamatan hanya mendampingi panitia dan tidak terlibat langsung dalam proses teknis di lapangan,” tutur Tulus sembari mengakhiri pembicaraan.
Minggu, 08 Juli 2007
[+/-] |
Babak Baru Perjalanan Demokrasi di Kabupaten Malang Melalui Pilkades |
Kabupaten Malang memulai babak baru dalam perjalanan demokrasinya dengan digelarnya pemilihan kepala desa secara serentak di 230 desa se-Kabupaten Malang. Sebanyak 714 calon Kepala Desa berlaga dalam memperebutkan kursi tertinggi di masing-masing desa tersebut. “Pilkades serentak tersebut merupakan catatan penting bagi komitmen untuk penguatan peran serta rakyat untuk memilih pemimpin mereka sesuai kategori desa masing-masing,” papar anggota Komisi A DPRD Kabupaten Malang Drs. Firman Adi Manan, saat ditanyai Simpul Demokrasi di Kepanjen.
Lebih jauh, Firman juga mengatakan bahwa pilkades akan menjadi rintis-an yang signi-fikan bagi pro-ses maupun produk demo-krasi yang lebih berkualitas, Dengan aktuali-sasi nilai-nilai de-mokrasi yang lebih terbuka, pilkades seharusnya benar-benar menjadi ajang di mana rakyat secara cerdas menjadikan diri mereka sebagai subyek demokrasi, dan bukannya menjadi alat mobilisasi kekuasaan. “Dalam budaya kita, money politic adalah musuh yang sulit dikalahkan. Dalam tradisi kita, memberi sejumlah uang dianggap sebagai kemuliaan dan kepedulian sang pemberi uang kepada masyarakat yang tidak mampu. Masyarakat akhirnya menganggap yang memberi uang sebagai seorang dermawan, dan akan merasa berhutang budi kepada ‘dermawan pura-pura’ tersebut. Di sinilah kita bisa lihat bahwa politik uang itu sesungguhnya sangat jahat. Kemuliaan tradisi masyarakat ditunggangi untuk kepentingan politik. Tantangan bagi kita semua untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat, baik dalam menyikapi politik uang maupun situasi politik yang lain.”
“Yang menarik,” lanjut Firman, “Dari 714 calon kepala desa, 90% ternyata calon yang berusia muda, bahkan ada yang masih berstatus mahasiswa. Ini mungkin bisa menjadi bukti bahwa regenerasi kepemimpinan politik di masya-rakat akar rumput sedang berjalan. Mudah-mudahan hasil-nya juga sesuai dengan keingin-an banyak orang.”
Bagaimana tentang berbagai temuan permasalahan pada tahap pendaftaran calon kepala desa yang terjadi sebelum pilkades digelar? “Saya kira, persoalan tetap akan ada karena pilkades serentak ini baru pertama kali. Semua persoalan itu semoga dapat berguna sebagai pembelajaran politik masyarakat. Sehingga, masyara-kat kian menyadari pentingnya berdemokrasi, menghargai pendapat dan selalu meng-utamakan kebersamaan dalam menghadapi segala sesuatu.
Ditulis oleh: Iwan Ira W
[+/-] |
Civil Society dan Demokratisasi di Kabupaten Malang |
Adanya proses-proses ekonomi politik yang demokratis dan stabil dapat lebih mudah tercapai kalau prasyarat-prasyarat civil society juga terpenuhi. Dengan kata lain, civil society yang berdaya, proporsional, dan kuat, tanpa adanya hegemoni dan eksploitasi dari pemerintah maupun pebisnis, merupakan prasyarat demokratisasi.
Civil Society di Kabupaten Malang sedikit banyak mulai terbangun. Salah satu indikatornya, masya-rakat secara sadar telah sanggup dan berani meminta per-tanggungjawaban penyelenggara pemerintahan di Kabupaten Malang. Tidak hanya itu, proses-proses kemandirian sosial, ekonomi dan politik masyarakat, lambat namun pasti, telah kian terbangun.
Namun, patut disayangkan bahwa kesadaran untuk menjadi civil society yang berdaya masih berjalan di tingkat elit masyarakat. Belum terjadi pencerahan yang bersifat masif di kalangan masyarakat akar rumput. Problem berupa lemahnya sumber daya masyarakat, umumnya di kalangan pedesaan, barangkali adalah sebab utama mengapa tidak terjadi sebuah gerakan menuju civil society yang berdaya di Kabupaten Malang. Dengan demikian kondisi ideal berupa kemandirian masyarakat demi mendukung otonomi daerah di Kabupaten Malang sedang menghadapi kondisi yang sulit dan lemah.
Faktanya, selain kelemahan internal, secara eksternal pembangunan civil society di Kabupaten Malang masih mengalami kendala berupa adanya kekuatan-kekuatan yang mempraktikkan hegemoni dan eksploitasi masyarakat untuk tujuan-tujuan politik dan kepentingan ekonomi. Masyarakat, secara tidak sadar, seringkali terbawa oleh tarikan kepentingan tertentu yang berusaha menguasai keseluruhan aspek ekonomi dan politik di Kabupaten Malang.
Keadaan ini memaksa kita untuk kembali memikirkan tentang langkah-langkah pemberda-yaan masyarakat yang selama ini dijalankan. Yang menjadi pertanyaan: siapa yang pantas untuk mendorong perwujudan civil society tersebut? Apakah pihak Organisasi Non Pemerintah (ornop), pemerintah, Partai Politik, atau kalangan pengusaha?
Usaha untuk memberdayakan civil society di Kabupaten Malang agaknya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan struktur, mekanisme, dan sistem politik masyarakat ke arah yang lebih demokratis. Hanya dengan pembenahan Pemerintahan Daerah maka kepercayaan masyarakat kepada pemerintah akan tumbuh kembali, agar dicapai keseimbangan antara kekuasaan Pemerintah dengan kedaulatan rakyat. Untuk itu, peran pemimpin (baik formal maupun non formal), Ornop, maupun Parpol memegang peranan yang sangat penting. Selain itu perlu pula dilakukan optimalisasi terhadap fungsi wadah representasi masyarakat desa. Penggantian kembali LMD/LKMD dengan suatu kelembagaan semacam Rembug Desa atau Badan Permusyawaratan Desa (BPD) nampaknya merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh. Keberadaan BPD yang mempunyai kewenangan untuk mengontrol jalannya pemerintahan desa, merupakan salah satu jaminan adanya pemberdayaan dan partisipasi masyarakat desa terhadap program pembangunan yang ada di desa mereka.
Cook dan Macaulay dalam bukunya yang berjudul Perfect Empowerment menyebutkan bahwa kunci keberhasilan pemberdayaan adalah adanya usaha yang sungguh-sungguh untuk memulai pember-dayaan pada diri kita sendiri, selain menunggu inisiatif pemberdayaan dari fihak eksternal. Oleh sebab itu pihak penyelenggara pemerintahan termasuk para legislatif, yudikatif, dan eksekutif, perlu melakukan pemberdayaan diri sendiri terlebih dahulu, sebelum memberdayakan masyarakat.
Ditulis oleh: Iwan Ira W
[+/-] |
Pejabat Harus Mengayomi Rakyat |
Dalam hidup manusia, yang penting ialah berkat. Bila hidup kita berkat, diri ini akan selamat. Apabila diri selamat, rumah tangga jadi sepakat, masyarakat jadi mufakat, negarapun akan selamat. Itulah sedikit ungkapan SY. Subakir (55), Kepala Desa Mangliawan Kecamatan Pakis Kabupaten Malang kepada Sim-pulDemokrasi.
Sebagai pensiunan POLRI yang sudah lama mengabdikan diri kepada negara dan bangsa, kini dirinya telah dipilih oleh warga untuk memegang amanah rakyat menjadi Kades Mangliawan yang hampir satu periode ini menjabat. “Loyalitasnya terhadap warga, tanggungjawabnya sebagai Kades, pengabdiannya kepada masyarakat dan kebijaksanaannya dalam melaksanakan tugas, sangat luar biasa,” tutur Moch. Santoso, salah seorang warga yang menangis haru ketika dimintai pendapatnya. “Saya keluarga tidak mampu. Saya benar-benar merasa dibantu, jarang ada Kepala Desa seperti Pak SY. “Pernah ketika keluarga saya sakit, selain dibantu mengurusi surat-surat agar kami terbebas dari biaya rumah sakit, Pak SY juga memberi saya uang untuk makan dan transportasi.”
SY. Subakir, yang sering juga disebut sebagai “guru spiritual warga”, dikenal senantiasa menga-yomi, mengasihi dan selalu beker-ja keras demi kesejahteraan war-ganya kiranya patut dijadikan sebagai contoh bagi kepala desa lainnya. Bagi Subakir, tugas sebagai kepala desa adalah ama-nah yang harus dipertanggungja-wabkan, warga adalah jiwanya yang harus diperjuangkan, dan kese-jahteraan adalah impian semua orang yang harus diwujudkan.
Dalam upaya tersebut, Subakir membuat kebijakan untuk setiap tahunnya memberikan 6 ton beras dan pakaian layak pakai kepada warga tidak mampu. Sumbangan itu dikumpulkan dari urunan para aparat desa, penyewaan tanah desa dan dana abadi masyarakat. “Kami ingin mensejahterakan rakyat, sekarang kami sedang melakukan terobosan untuk masyarakat, selain ada pasar desa untuk rakyat, juga kami akan membuka taman wisata peman-dian Sumber Wendit Lanang, yang diharapkan dapat membuka lahan pekerjaan baru bagi warga. Kami bekerja semuanya untuk kepentingan masyarakat, tidak untuk kepentingan pribadi, apalagi untuk memperkaya diri,” imbuhnya yang secara implisit mengajak para pejabat untuk memiliki pandangan dan berbuat kepada rakyat seperti yang dilakukannya selama ini.
Berbicara mengenai demokrasi kepada SimpulDemokrasi, menu-rut SY demokrasi kalau niatnya baik maka hasilnya akan baik. “Sekalipun demokrasi diartikan sebagai kebebasan tapi jangan sampai kebablasan, imbasnya kekayaan alam yang kita miliki ini terampas, pemerintah jadi kewa-lahan, akhirnya kita (masyarakat) yang menjadi sapi perahan.”
SY yang pernah mengundur-kan diri pada tahun 2006 sebagai Ketua Paguyuban Kepala Desa Kabupaten Malang tahun 2004 dan sekarang sebagai anggota Paguyuban Kepala Desa se-Kecamatan Pakis ini juga meng-kritik wacana pembentukan daerah otonomi baru Kabupaten Malang. Ia menghimbau Kepala Desa se-Kabupaten Malang untuk lebih tegas dan kritis dalam menyikapi rencana ini. “Saya setuju saja adanya pembentukan daerah otonomi baru, tapi ada poin-poin penting yang harus diperhatikan, ada rambu-rambu yang harus dijalankan. Jangan sampai pemekaran ini nantinya hanya dijadikan tempat untuk berebut kekuasaan dan rakyat tidak diperhatikan”, paparnya mengakhiri pembicaraan dengan SimpulDemokrasi.
Ditulis oleh: Iwan Ira W
[+/-] |
Demokrasi Sering Dijadikan Kuda Tunggangan |
Demokrasi adalah sebuah proses. Tidak bisa dipungkiri bahwa proses-proses demokratisasi kadang dimanfaatkan oleh kalangan yang mengatasnamakan demokrasi dengan menggunakan kekuasaan dan kewenangannya bukan untuk mengartikulasikan kepentingan rakyat, namun digunakan untuk meraih kepentingan (interests) dan kekuasaan (power) individual.
Sulit memang berbicara tentang demokrasi, apalagi untuk kesejahte-raan rakyat Indonesia jika elit-elit politik hanya mengutamakan kepentingannya sendiri.
Ketua Federasi Konstruksi Umum dan Informal Serikat Buruh Sejahtera Indonesia Cabang Malang, Hari Effendi, mengungkapkan bahwa sangat penting bagi gerakan buruh untuk tidak jatuh ke dalam khayalan bahwa perubahan-perubahan terhadap susunan pemerintahan akan memberikan demokrasi yang sejati dan pembaharuan sosial. Bagi Hari, demokrasi tidak lebih hanya di jadikan kuda tunggangan oleh para pemegang keku-asaan. Demokrasi sela-ma ini terbukti tidak menghasilkan kese-jahteraan rakyat, menimbulkan ketidakamanan dan bahkan anarkisme.
“Disesalkan sekali ketika kaum buruh tercerai berai, terintimidasi, teraniaya, terampas hak-haknya dan ter-ancam nasibnya. Serikat buruh yang ada telah gagal mewakili kepentingan buruh mereka hanya merupakan perpanjangan tangan pemerintah yang mengontrol dan meredam aksi tuntutan buruh. Hukum yang seharusnya berpihak pada kea-dilan, kebenaran dan, tentunya, kesejahteraan, tidak lebih meru-pakan barang dagangan yang dapat diperjualbelikan. Ini bukti bahwa perundangan ketenaga-kerjaan di Indonesia tidak menga-lami peningkatan kualitas untuk menyejahterakan buruh. Malah buruh dijadikan korban politik. Ini salah satu bukti riil buruknya demokratisasi di Indonesia. Terlebih-lebih kalau berbica-ra masalah rakyat, mereka semakin lama bukannya semakin sejahtera, tapi semakin lama malah tambah semakin buruk saja nasibnya. Ini yang perlu diperhatikan oleh semua elemen masya-rakat untuk lebih menuntut pertang-gungjawaban pe-merintah,” ungkap Hari yang sekian lama mencoba untuk memelopori pendidikan kaum buruh. “Harus ada penghargaan lebih atas Hak Asasi Manusia, termasuk di dalamnya hak-hak buruh sesuai dengan standar perburuhan dan pertumbuhan ekonomi tidak mengorbankan kesejahteraan para buruh. Janganlah demokrasi hanya dijadikan permainan politik yang ujungnya jutaan orang menderita karenanya.”
Melalui Sekolah Demokrasi, Hari mengungkapkan harapan besarnya untuk mencerahkan pilar-pilar demokrasi ataupun elit-elit politik. Kran demokrasi yang kini lebih terbuka, sekalipun hanya sedikit demi sedikit, adalah peluang yang harus dimanfaatkan betul. Hari berharap Sekolah Demokrasi nantinya bukan hanya sebatas wacana tapi mampu membangun iklim demokratisasi yang lebih baik. Kalau bisa, menurutnya, Sekolah lebih berorientasi untuk melakukan analisis dan kritik kebijakan negara, yang kini hanya menjadi milik sekelompok elit yang mengatasnamakan masyarakat, untuk merealisasikan kebutuhan publik. Demokrasi mestinya menjadi alat bantu untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang sesungguhnya.
Ditulis oleh: Iwan Ira W
Minggu, 01 Juli 2007
[+/-] |
Kontroversi Dunia Pendidikan |
Potret pendidikan di Kabupaten Malang memang tidak pernah sepi dari kontroversi. Paling tidak inilah yang perlu kita benahi bersama-sama, ungkap Paring, Wakil Presidium Jaringan Islam Anti Diskriminasi yang sedang membentuk Koalisi Nasional Penciptaan Bhineka Tunggal Ika dan adaptasi Undang-Undang administrasi kependudukan.
“Sebenarnya jika mau ditelusuri, ungkap Paring”, banyak kebimbangan dalam menilai aspek pendidikan di Kabupaten Malang atau bahkan semua daerah di Indonesia dan salah satunya yang kini digugat sebagian pengamat adalah kualitas pendidikan yang cenderung mengarahkan para siswa atau out put pendidikan sebagai robot, pendidikan kita tidak bisa lepas dari tekanan industrialisasi dan sistem kapitalis yang membuat SDM kita lemah. Bahkan, semua aspek input internal dan eksternalnya dianggap sebagai cost yang harus dihitung untuk bisa mencapai titik impasnya sehingga dapat dikalkulasi berapa profit margin yang harus dicapai, ini bisa dikatakan bahwa sistem pendidikan kita “seperti pasar”, siapa yang mau barang bagus, maka costnya juga harus bagus, begitu seterusnya.
Akibat dari itu semua, orang-orang yang tidak mampu semakin sulit untuk bisa meraih jenjang pendidikan, Bahkan untuk pendidikan tinggi, kini tak ada lagi subsidi mutlak karena sejumlah PTN telah dialihkan untuk menjadi Badan Hukum Milik Negara atau BHMN sehingga mereka harus bisa mandiri menghidupi operasionalnya. Salah satu konsekuensi dari format ini adalah semua BHMN beralih menjadi research university dan ini memang sangat baik untuk memacu kualitas. Di sisi lain, dampak dari kebijakan itu adalah semakin mahalnya tarif pendidikan. Yang dimaksud tarif dalam hal ini karena memang sektor pendidikan telah berorientasi ke bidang bisnis jasa, meraup jumlah mahasiswa atau siswa. Akhirnya, kita bisa dengan lebih jeli melihat ada kelas reguler, kelas ekstensi, kelas weekend, kelas sore, kelas khusus, kelas jauh dan kelas eksekutif. Konsekuensi dari itu semua, penerimaannya melalui jalur UMPTN semakin diperkecil porsinya dan mereka pun berlomba-lomba memperbesar porsi untuk jalur non-UMPTN, bukan lagi mengarah pada tujuan mulia yaitu pencerdasan bangsa tapi lebih pada mencerahkan ekonomi rumah tangga.
Yang juga tak kalah serunya, ungkap Paring adalah tarif (sekali lagi sengaja ditulis tarif, bukan biaya) yang ditetapan selalu meningkat setiap tahun angkatan. Logika yang dipakai pun sangatlah sederhana yaitu menyeimbangkan dengan digit inflasi. Realitas ini jelas menunjukan bahwa sektor pendidikan memang telah berkiblat pada industrialisasi, kapitalisme dan tentunya pendidikan sebagai barang dagangan. Bahkan, untuk mendukung jargon tersebut maka iming-iming double degree dan berbagai fasilitas full AC sampai penyaluran kerja atau beasiswa dikampanyekan, inilah bentuk penyiasatan licik yang dilakukan oleh para pendidik kita untuk mendapatkan potensi ekonomi dari pendidikan dan pemerintah pun mengabaikan hal itu dan masih mendorong pendidikan seperti itu, akibatnya rakyat miskin menjadi semakin tidak dapat mengenyam nikmatnya pendidikan. Bahkan, slogan pendidikan murah untuk rakyat semakin tidak bisa dijangkau oleh masyarakat. Dari fakta ini, sangat beralasan jika akhirnya muncul sindiran 'orang miskin dilarang sekolah'.
Jika ini benar maka justru dari sinilah awal dari terciptanya mata rantai kemiskinan terselubung di Indonesia. Dengan kata lain, semua program pengentasan kemiskinan yang digulirkan tak akan pernah dapat untuk mengentaskan karena sumbu utama dari kemiskinan yaitu kualitas pendidikan tidak pernah dicapai oleh komunitas masyarakat miskin, di sinilah, para pendidik, birokrat/yang memiliki banyak wajah itu menjadi biangnya. Di sini pula, bantuan biaya sekolah tidak begitu saja mampu memecahkan persoalan pendidikan seluruh rakyat miskin dan demokrasi hanya dijadikan slogan untuk memperlancar aksi-aksi licik mereka, ungkap Paring sambil mengakhiri pembicaraan.
Ditulis oleh: Iwan Ira W
[+/-] |
Sekolah Gratis Hanya Omong Kosong |
Anak-anak pinggiran, anak-anak jalanan di Kabupaten Malang yang mata pencariannya sebagai pencari barang bekas (pemulung), penarik becak, penjahit sepatu, pengamen dan sebagainya, tak menghiraukan bahwa dirinya tidak sekolah.
Bagi mereka, pendidikan hanyalah isapan jempol belaka, kecuali jika ada orang lain yang mau menjadi bapak angkat bagi anak-anak pinggiran rel kereta tersebut. Mereka menganggap, pendidikan itu merupakan sesuatu yang sangat mahal dan pendidikan hanya bagi anak-anak orang kaya saja.
Mat, 30 tahun, salah seorang warga yang hanya tamatan SD saat ditemui di Alun-alun Kota Malang yang banyak bergaul dengan anak-anak jalanan, menyebutkan, rata-rata anak-anak yang berprofesi sebagai pengamen, peminta-minta, berjualan, merupakan anak-anak yang putus sekolah akibat ketidakmampuan orangtuanya membayar biaya sekolah dan ada beberapa yang masih sekolah tapi setiap hari dia harus mencari uang disini.
Meskipun pemerintah memberikan biaya sekolah gratis, lanjut Mat, warga di kawasan tersebut yang juga pedagang kaki lima tetap saja pesimis karena mereka tetap harus mengeluarkan biaya sekolah baik untuk seragam sekolah, alat-alat tulis, buku pelajaran, serta perlengkapan belajar lainnya.
Sementara itu, Mas Duki, salah seorang penarik becak dayung, saat ditemui di Mendit Kecamatan Pakis, menyebutkan, untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang adil dan merata, pemerintah hendaknya jangan hanya memikirkan anggaran pendidikan dan tuntutan para guru belaka, tetapi pemerintah juga harus memperhatikan nasib rakyat miskin yang tidak mampu untuk menyekolahkan anak-anaknya supaya dapat merasakan pendidikan.
"Jangan hanya anggaran pendidikan dan tuntutan kesejahteraan para guru saja yang diperhatikan, tetapi pemerintah juga harus membuat pendidikan tersebut terjangkau oleh rakyat miskin. Rakyat miskin juga ingin sekolah agar tidak selamanya hidup susah," tutur Mas Duki.
Mas Duki mengaku, saat ini sangat sulit bagi penarik becak dayung dengan penghasilan paspasan bagi keperluan makan untuk menyekolahkan anak-anaknya yang serba mahal. "Untuk masuk ke sekolah lanjutan negeri saja harus mengeluarkan uang jutaan rupiah, mana mungkin bagi tukang becak kayak kami ini menyekolahkan anak," ujar Mas Duki seraya menyebutkan, akhirnya banyak anak-anak yang harus putus sekolah.
Sekalipun perkembangan pendidikan di Kabupaten Malang berkembang pesat dimana jumlah siswa SMP yang lulus Unas 2007 meningkat dibandingkan tahun kemarin. Tahun 2006 lalu pelajar SMP yang lulus sebanyak 87.10 persen, tahun ini meningkat jadi 93.12 persen kata Drs. Suwandi, Kadiknas Kabupaten Malang saat di tanyai oleh Simpul Demokrasi. Namun perlu dicatat juga bahwa pendidikan di Kabupaten Malang sangat memprihatinkan dan banyak rakyat miskin yang belum mampu mendapatkan pendidikan dasar 9 tahun. “Tidak adil bila masyarakat tidak mampu dipersamakan dengan masyarakat yang mampu dan kalau bisa dibuatkan sekolahan plus untuk rakyat miskin. Standarnya seperti sekolah unggulan tapi tanpa biaya sepeserpun, tutur Pak Djarmadi pedagang kaki lima di wilayah Pakis Kabupaten Malang yang 2 anaknya putus sekolah karena terhimpit biaya.
Turunnya kemampuan orangtua untuk membiayai pendidikan anaknya, terutama pada masyarakat lapisan kelas bawah, masih menjadi penyebab utama tingginya jumlah anak yang putus sekolah. Gejala ini memberi dampak negatif, yaitu semakin banyaknya anak usia sekolah yang harus bekerja pada berbagai lapangan pekerjaan. Tak bisa dimungkiri, kualitas angkatan kerja yang masih didominasi oleh lulusan SD ke bawah ini menyebabkan profesionalitas sumber daya manusia tergolong rendah dan sulit bersaing. Suatu hal yang perlu untuk kita pikirkan bersama-sama, jangan sampai praktek pendidikan yang seharusnya sesuai dengan budaya masyarakat akan menimbulkan penyimpangan yang dapat muncul dalam berbagai bentuk goncangan-goncangan kehidupan individu dan masyarakat terutama masyarakat yang tidak mampu. Lanjut lagi ketika Simpul Demokrasi mewawancarai bocah berusia 9 tahun bernama Ahmad yang berprofesi sebagai pengamen jalanan saat ditemui di Alun-alun Kota Malang, ketika Simpul menanyakan “Kamu sekolah tidak, Nak?”, “Saya sekolah kelas 3 SD, jawab Ahmad”, kemudian Simpul menanyakan lagi “Kenapa kamu ngamen?”, biar bisa sekolah dan punya uang saku, setiap hari sepulang sekolah saya kesini untuk cari uang, jawab Ahmad yang tinggal dengan neneknya karena kedua orangnya sudah tidak ada”. Ini adalah sebuah gambaran kecil terpuruknya rakyat miskin ingin sekolah yang kadang-kadang kita kurang peduli dengan mereka.
Di Kabupaten Malang, ribut-ribut seputar pendidikan tak sekadar dihiasi mahalnya ongkos untuk jadi orang pintar, tapi juga diwarnai oleh Berbagai penyimpangan yang ada dalam masyarakat, misalnya membesarkan biaya pendidikan, berkembangnya mentalitas “jalan pintas” untuk mempercepat memperoleh gelar, penyelewengan dana untuk pendidikan, sikap materialistik dan individualistik yang dilakukan oleh para pendidik. Fenomena semacam ini yang akan terus mewarnai pendidikan di sini. Perlu perjuangan ekstra keras untuk melawan arus besar ini. Bahkan pemerintah, dengan UU di pundaknya, seakan tak mampu mencegah.
Ditulis oleh: Iwan Ira W
exacta | |
Definition: | A method of betting, as on a horserace, in which the bettor must correctly pick those finishing in the first and second places in precisely that sequence. |
Synonyms: | perfecta |