(Jeff Haynes – penerjemah P. Soemitro)
Yayasan Obor Indonesia, September 2000, xii + 374 halaman
Perkembangan demokrasi pada setiap negara, selalu memuculkan berbagai kelompok-kelompok yang selalau bersandar diaras masyarakat, baik dalam skala kecil maupun besar.
Kelompok ini biasanya selalu bersikap kritis atas setiap kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah. Terutama, hal in dilatar belakangi adanya rasa ketidakpuasan terhadap suatu orientasii dari kebijakan tersebut, maka mereka [kelompok-kelompok tersebut] menunjukkan bentuk keridakpuasan merekan dengan menggelar berbagai aksi. Sehingga dari sini kemudian muncul istilah “kelompok aksi” sebagai manifestasi ketidakpuasan yang ada.
Timbulnya permasalahan, bahwa eksistensi dari kelompok aksi tersebut umumnya sangat rentan, terutama dalam mempertahankan eksistensi, peran dan fungsinya di kancah politik.
Kelompok aksi ini biasanya akan mendapat tekanan keras dari pemerintah. Pertimbangan utama, umumnya adalah anggapan bahwa kelompok ini akan mengancam stabilitas politik yang telah dibangun oleh pemerintahan yang formal.
Maka, untuk mempertahankan eksistensi dans epak terjangnya, terdapat tiga alternatif yang dapat ditempuh.
Pertama, bergabung dengan partai politik besar. Dengan langkah ini keberadaan sebuah kelompok aksi akan relatif bertahan lama karena akan diproteksi oleh partai yang lebih besar tersebut.
Kedua, tetap otonom tetapi memiliki hubungan kerja dengan satu atau sejumlah partai politik. Resikonya, adalah munculnya sikap pragmatisme oportunistik dari partai yang dijadikan mitra aliansi hubungan kerja tersebut.
Ketiga, mencoba untuk membentuk federasi otonom dengan kelompok aksi non partai lainnya. Tipologi ini biasanya akan berhasil pada tingkat rek\gional dan dilakukan untuk tujuan spesifik temporal saja. Itupun harus dengan syarat, adanya kesamaan ideology dan tujuan antar kelompok yang melakukan aliansi tersebut.
Dalam buku ini, Jeff melihat ada dua problema utama yang dihadapi oleh negara-negara dunia ketiga, yang pertama adalah bersifat social politik, sedangkan yang kedua bersifat ekonomi.
Berhasil tidaknya dunia ketiga untuk mengatasi kedua problema tersebut, menurut Haynes sangat berpengaruh bagi tumbuhnya kelompok-kelompok aksi, yang orientasi utamanya adalah pemberdayaan rakyat pada akar bawah (grass root).
Karena banyaknya kelompok aksi yang muncul dibelahan Dunia Ketiga, maka Hayness dalam bukunya ini membagi dalam dua kelompok besar : Pertama, kelompok aksi yang memiliki korelasi erat dengan pembangunan, denan sasaran Meingkatkan kualitas hidup anggotanya adalah tujuan utama kelompok ini. Sedangkan kelompok yang Kedua, kelompok aksi yang memiliki sejumlah orientasi social-politik. Kelompok ini berusaha menumbuhkan kepekaan politik untuk menyuarakan aspirasi social politik mereka.
Buku yang dalam edisi Indonesia dilengkapi dengan kata pengantar dari Haynes sendiri ini, akan menarik sekali untuk dibaca oleh kita masyarakat Indonesia. Karena semua problema Dunia ketiga yang diangkat dalam buku ini, terasa relevan dan korelatif dengan berbagai permasalahan yangs sedang dihadapi bangsa Indonesia saay kini.
Selamat Datang
Rabu, 03 Oktober 2007
[+/-] |
Demokrasi dan Masyarakat Sipil di Dunia Ketiga |
[+/-] |
Wimar Witoelar: Demokrasi sudah lahir, bagaimana membesarkannya? |
Mahasiswa ITB meminta tulisan mengenai demokrasi dan masa depannya, sebanyak sepuluh halaman. Wah, kata WW, besar sekali topiknya dan panjang sekali tulisannya. Sepuluh halaman adalah 7500 kata, jauh diatas kebiasaan WW. Yadeh, tulis aja sekuatnya. Lagipula, demokrasi harus lebih banyak dipraktekkan daripada dibahas.
Ibarat kelahiran bayi, kelahiran demokrasi di Indonesia tahun 1998 adalah suatu mukjizat. Tidak kelihatan pertumbuhan embryo demokrasi sebelum Soeharto jatuh, tahu-tahu lahir sebagai bayi sehat. Lengkap dengan semua perangkatnya, pers bebas, perubahan politik, peraturan kepartaian, pemilihan umum. Tapi apakah berarti demokrasi sudah hadir di Indonesia?
Thanom Kittikachorn
Di Thailand, dilakukan upaya mendirikan demokrasi sejak pergolakan mahasiswa dan kelas menengah ditahun 1973 menggulingkan pemerintahan Jendral Thanom Kittikachorn. Walaupun beberapa kembali ke pemerintahan militer, namun dengan militer macam Prem Tinsulanonda yang beraspirasi demokrasi, lambat laun demokrasi
Prem Tinsulanonda
berkembang di Thailand. Thaksin Shinawatr memerintah dengan partai yang menang Pemilu. Dengan pengalaman demokrasi lebih dari tigapuluh tahun, pemilu yang demokratis, parlemen yang terbuka dan konstitusi yang dibuat oleh rakyat, harusnya emokrasi Thailand sudah kokoh. Tapi ternyata kasus tuduhan korupsi, ketidak puasan kelas menengah, dan kekesalan Angkatan Bersenjata Thailand bergabung dengan arogansi Perdana Menteri Thaksin. Akhirnya orang tidak tahan lagi. Ketika ia digulingkan oleh kudeta militer, banyak orang bersorak gembira. Ini terjadi tidak lama setelah suatu pemilihan umum mengokohkan kembali Perdana Menteri yang pengusaha top Thailand itu.
Thaksin Shinawatr
Yang aneh adalah, bahwa kudeta militer itu mendapat dukungan masyarakat, paling tidak menurut pengamatan informal di jalanan. Cerita ini berbeda tapi ada persamaannya dengan kejadian setelah Gerakan 30 September ketika Presiden Soekarno digulingkan oleh Angkatan Darat. Kejadian ini seperti di Thailand merupakan kudeta militer, hanya bedanya adalah kejadiannya berdarah dan regime Soekarno yang digulingkannya bukan pemerintahan demokratis seperti pemerintah Thaksin. Orde Lama Soekarno sangat totaliter, sama totaliter dengan Orde Baru Soeharto bila kedua-duanya dilihat pada tahun-tahun terakhirnya. Perbedaan lain yang penting adalah, kudeta militer di Thailand tidak berdarah, sedangkan peralihan Orde Lama dan Orde Baru mengambil korban ratusan ribu jiwa.
B.J. Habibie
Sekarang kita berada dalam sistem demokrasi. Sejak 1998, banyak kemajuan telah tercapai. Mulai dengan pembebasan tahanan politik dan pembebasan pers pada kepresidenan Habibie, dilanjutkan dengan terobosan mendasar dalam pluralisme yang menghargai keragaman manusia, dan penempatan militer dalam posisi yang tidak mencekam warga, penghayatan problem khusus di Aceh dan Papua, Indonesia telah melakukan langkah maju. Paling penting adalah kesadaran akan pentingnya demokrasi, hak azasi dan pluralitas.
Abdurrahman Wahid
Kesadaran demokrasi kita dibuahkan menjadi aktualitas kehidupan yang lebih nyaman. Artinya, demokrasi kita sudah sampai pada tingkat intelektual tapi belum banyak menyentuh orang biasa. Orang biasa menunjukkan perilaku feodal, terlalu menghormati pejabat dan kurang yakin dalam pengertian hak demokratis. Bos dihormati secara otomatis, bukan diambil konsep ilmunya, sehingga yang muncul adalah hubungan kekuasaan dan bukan kecerdasan kolektif. Seorang gubernur tetap dipanggil dengan nama kesayangan mulai Bang Ali sampai Bang Yos, tanpa memperhitungkan kemungkinan bahwa jabatan gubernur itu dipakai melawan rakyat, bukan demi rakyat. Walaupun sudah banyak indikasi korupsi dari kekayaan yang berlimpah-limpah dan penciptaan proyek yang memperkaya penguasa, pejabat penguasa terus saja menjadi orang VIP yang terhormat dalam pergaulan sehari-hari.
Banyak orang yang melakukan protes, tapi mereka adalah aktivis keras yang memang sangat sadar akan hak demokratis, bahkan fokus hidupnya diabdikan untuk melawan penguasa. Orang biasa berada dalam jarak jauh dari aktivis ini, memilih hidup damai dan mencari nafkah tidak mau ribut. Pada tingkat ekstrim, aktivis mencari perkara untuk dilawan, sedangkan orang biasa menghindari konflik dengan mengabaikan issue sosial dan menenggelamkan diri dalam kehidupan kecil.
Padahal kehidupan biasa sangat bisa dijalankan dengan kesadaran akan hal- hal yang lebih besar. Paling tidak, rugi sendiri kalau orang biasa mengabaikan soal politik. Dan orang politik akan tidak relevan jika mengabaikan kehidupan biasa.
Cita-cita kita adalah agar aktivis dan orang biasa berbaur. Perjuangan tidak hanya untuk pejuang, tapi untuk orang biasa juga. Melawan ‘good guy’ bukan hanya kegiatan aktivis, harus bersama-sama ‘good guy’ dan orang biasa. Pengembangan profesional dan emosional tidak hanya untuk orang biasa, tapi untuk aktivis juga.
Aktivis yang sok aktif tidak jauh berbeda dengan pejabat yang arogan. Hanya dengan menyebarkan penghayatan demokrasi kepada orang biasa, dapat tercapai kehidupan demokrasi yang bertahan lama. Dan hanya dengan sadar akan realitas, aktivis bisa lebih efektif daripada demonstratif.
George W.Bush
Presiden George W. Bush menjalankan pemerintahan Amerika Serikat secara anti-demokratis sejak 11 September 2001. Jutaan orang dan puluhan pemerintahan di dunia terganggu oleh unilateralisme dan arogansi pemerintahan AS. Politiknya di Irak mengundang demonstrasi ganas di semua kota besar di dunia termasuk London dan Washington. Akhirnya dia jatuh juga, kehilangan dukungan di dua kamar Kongres dan gubernur negara bagian.
Ini contoh kasus yang berbeda dengan kudeta Thailand. Kejahatan pemerintahan George Bush jauh lebih besar dari pemerintahan Thaksin Shinawatr. Tapi Thaksin harus digulingkan oleh kudeta militer, Bush digulingkan oleh pemilihan umum. Itu karena demokrasi Thailand baru berusia 30 tahun, demokrasi Amerika Serikat 230 tahun. Di Indonesia, demokrasi baru lahir, sekarang harus dibesarkan.
[+/-] |
Islam Liberal dan Ketegangan Demokrasi Di Dunia Islam |
Pergulatan pemikiran Islam adalah spiral sejarah yang akan berulang. Yang pantas kita ambil adalah semangat untuk terus melakukan reinterpretasi Islam sesuai dengan jaman dan dengan tetap menghargai adanya perbedaan. Islam yang lahir dari peradaban teks dengan sendirinya membuat Islam memiliki banyak wajah, karena teks itu bebas untuk ditafsir.
Sikap radikal yang muncul dari sebagian kalangan Islam terhadap pemuatan serial karikatur nabi Mumammad di salah satu koran Denmark, Jyllands-Posten, serta dukungan luas kepada Rancangan Undang-undang Anti-pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) sekali lagi menunjukkan bahwa di dunia Islam terjadi ketegangan ketika berhadapan dengan demokrasi dan prinsip-prinsip kebebasan.
Sebagian kelompok umat Islam masih belum mampu menerima perbedaan dengan kepala dingin. Pelecehan dan penghinaan terhadap simbol-simbol agama dibalas dengan tindakan anarkis yang bertubi-tubi. Dalam kasus karikatur nabi Muhammad, mereka merusak gedung-gedung kedutaan dan meminta pelakunya diganjar hukuman mati. Sebaliknya, di satu sisi mereka berupaya memaksakan kepentingan mereka dan mengecilkan hak asasi orang lain.
RUU APP adalah contoh bagaimana umat Islam mementingkan keinginan sendiri tanpa memedulikan realitas sosial yang ada di masyarakat Indonesia. Hal ini terungkap dalam sebuah diskusi yang bertema “Islam Liberal dan Gairah Pemikiran Islam di Indonesia” hasil kerjasama antara Yayasan Tifa, Solo Society, dan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Locus STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) Surakarta, pada 22 Maret 2006 yang lalu. Bertempat di gedung student centre STAIN Surakarta, diskusi ini menghadirkan tiga orang pembicara, yaitu Novriantoni, aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL), Islah Gusmian (STAIN), dan Zakiyuddin Baydhawy, (PSB-PS UMS Surakarta). Diskusi ini juga merupakan program kerja dua bulanan yang dilakukan oleh Solo Society.
Selain menyayangkan sikap yang ditunjukkan oleh umat Islam di atas, para pembicara mengatakan bahwa sebetulnya ada permasalahan yang lebih penting dan substantif dalam kondisi sekarang ini, dimana umat Islam juga harus ikut ambil bagian dalam upaya menanganinya. Dari pada ribut mengenai RUU APP, problem kemiskinan, kekerasan terhadap perempuan dan anak, pengangguran, dan adanya ketidakadilan stuktural seharusnya menjadi agenda perjuangan umat Islam, khususnya di Indonesia.
Menurut Novriantoni, di sinilah Islam liberal hadir dan mengambil peranan untuk memberikan sumbangsih pemikiran mengenai permasalahan yang menghinggapi umat Islam umumnya. Ia menegaskan bahwa Islam liberal muncul untuk menampilkan Islam yang tidak berlawanan dan atau memang sesuai dengan demokrasi. “Khususnya di Indonesia, paradigma Islam liberal digulirkan untuk menguatkan proses demokrasi yang mulai berkembang pasca kejatuhan pemerintahan otoriter Soeharto,” tandasnya.
Dalam dunia Islam masih terlihat adanya sikap menghakimi dan mencoba mengkafirkan yang lain, seperti dialami oleh Ahmadiyah dan Salman Rushdi. Ia juga mensinyalir adanya gerakan di Indonesia yang akan membawa negara ini menjadi sebuah pesantren state. Jika ini benar, maka akan timbul ketegangan-ketegangan yang lebih besar lagi, sebab masyarakat indonesia yang multikultur ini tidak bisa diseragamkan. Implikasi yang lebih luas adalah hancurnya konsepsi Bhinneka Tunggal Ika dan kehidupan demokratis yang diidamkan.
Tidak baru
Paradigma Islam liberal dalam agenda demokrasi (ataupun dimensi lainnya) seperti yang diungkapkan oleh Novri bukanlah hal baru dalam pergulatan pemikiran Islam, baik di Indonesia maupun negara lainnya. Islah dan Zakiyudin sama-sama berpandangan bahwa Islam liberal sudah menorehkan catatannya dalam sejarah dan menjadi dinamisator bagi perkembangan Islam pada umumnya.
Cuma, menurut Islah, Islam liberal yang kembali mencuat belakangan ini diawali oleh tulisan Ulil Abshar Abdalla di harian Kompas, empat tahun yang lalu. Sejak itu Islam liberal dan JIL (dimana Ulil bernaung) menjadi perbincangan dan mendapat sorotan tajam dari masyarakat. “Jadi Islam liberal itu bagaikan pisang goreng dengan rasa keju. Bahannya sama, cuma rasa dan aromanya saja yang dibikin lain.” “Yang dilakukan oleh teman-teman JIL itu sebenarnya hal yang biasa dalam pergulatan pemikiran Islam,” kata Islah.
Dosen STAIN yang novelnya dibuat menjadi film “Rindu Kami PadaMu” oleh Garin Nugroho ini mendasarkan argumennya pada sejarah Islam di tanah air. Di abad 17 terjadi pertarungan antara Hamzah Fansuri (tasawuf) dan Nurudin Al Raniri (Islam ortodoks). Pertarungan mereka hampir sama dengan apa yang dialami oleh JIL sekarang. “Teman-teman JIL masih enak. Dulu bukan hanya pengkafiran yang diterima, melainkan hampir semua buku-buku dibakar habis oleh Raniri,” kata Islah.
Menurut Zakiyuddin, dari segi etimologi, istilah, Islam liberal muncul pada tahun 1950-an. Kali pertamanya dikemukakan oleh Ali Asghar Fyzee, yang mengemukakan bahwa siapapun muslim yang mendekati Islam secara historis kritis maka dia disebut muslim liberal. Istilah ini bergulir dan menimbulkan banyak definisi. Seperti Leonard Binder dan Charles Kurzman. Kedua Islamolog Barat ini memiliki pendekatan berbeda. Binder mengatakan Islam Liberal adalah seorang yang berpikiran liberal dengan bingkai liberalisme Barat. Sementara itu Kurzman menganggap bahwa Islam liberal adalah bagian dari tradisi Islam.
“Salah satu kecurigaan di Indonesia adalah Islam liberal yang berkembang menggunakan logika Binder, yakni Islam liberal dianggap bagian dari tradisi liberalisme Barat. Padahal tokoh-tokoh Indonesia di era 70-an seperti Johan Effendi, Gus Dur, dan Cak Nur hanya memakai pendekatan modernisme untuk mengembangkan pemikiran Islam,“ ungkapnya.
Pergulatan pemikiran Islam adalah spiral sejarah yang akan berulang. Seperti yang dikatakan oleh Islah, bahwa yang pantas kita ambil adalah semangat untuk terus melakukan reinterpretasi Islam sesuai dengan jaman dan dengan tetap menghargai adanya perbedaan. Islam yang lahir dari peradaban teks dengan sendirinya membuat Islam memiliki banyak wajah, karena teks itu bebas untuk ditafsir. “Sebuah keniscayaan yang sulit dipungkiri atau diseragamkan”, tegasnya.
Minggu, 30 September 2007
[+/-] |
Dengan mendalamnya krisis Suharto, Masalah-masalah yang mendesak sedang dihadapi oleh rakyat Indonesia |
Suharto telah memperpendek kunjungannya ke Mesir untuk pulang ke tanah air yang runtuh oleh protes massa dan kerusuhan. Dengan bertambahnya tuntutan untuk mengunduran diri yang berasal bukan hanya dari mahasiswa dan para buruh saja, tetapi juga dari bagian ekonomi golongan atas di dalam negeri dan pemimpin-pemimpin dari susunan modal internasional di luar negeri, kelanjutan dari kediktaktoran Suharto selama 32 tahun ini sedang dipertanyakan.
Tetapi ini tidak dapat disimpulkan bahwa Suharto akan merasakan keharusan untuk meletakkan jabatannya. Masih banyak kekhawatiran baik didalam borjuis internasional dan bisnis-bisnis di Indonesia maupun di dalam lingkaran militer akan pemecatannya, karena mereka masih tidak yakin bahwa mereka akan mendapatkan penggantinya.
Tetapi meskipun orang tegar yang sudah berusia 76 tahun ini akan pergi, keberangkatannya akan menandakan bahwa tantangan-tantangan politik yang dihadapi oleh rakyat Indonesia bukan malah akan berakhir tetapi baru saja dimulai. Terbentangnya pergejolakan sosial ini telah menimbulkan rantaian masalah-masalah yang sangat penting.
Pada dasarnya, dengan kegagalan (yang sering disebutkan sebagai) keajaiban ekonomik di Asia telah mengungkapkan ketidak-mampuan dari sistem keuntungan dan pasar modal untuk mencukupi kebutuhan pokok rakyat. Dalam analis terakhir, rejim Suharto dan pemerintahan yang lalim di negara-negara Asia yang lainnya adalah alat-alat politik yang digunakan oleh bank-bank internasional dan korporasi-korporasi dan pemerintah yang bersedia memberikan tawaran mereka untuk membangun hubungan-hubungan kapitalis di daerah itu.
Dengan meluasnya daerah-daerah yang dapat digunakan untuk membuat keuntungan, penggunaan kekayaan dari sumber-sumber natural dan pemerasan buruh-buruh yang dibayar dengan murah telah di perkembangkan. Berulang-ulang perluasan kapitalis sering dibangun diatas mayat-mayat yang menggunung – seperti setengah juta buruh yang dibunuh oleh Suharto dalam kudeta yang didukung oleh America Serikat pada tahun 1965-66 yang memberikan kesempatan kepada Suharto untuk mengambil kekuasaan.
Jika sekarang kekuatan imperialis yang sudah mendukung diktaktor itu selama tiga abad menoleh kearah yang lain, hal itu disebabkan karena mereka sudah kehilangan keyakinan akan kemampuannya untuk membayar pinjaman negara kepada bank-bank besar dan pemungut pinjaman untuk keuangan seluruh dunia, I.M.F (Dana Moneter Internasional). Kantor pemberitaan milik kapitalis mulai dari Washington, ke Bonn, ke Tokyo dan Sydney sedang dipenuhi oleh tanjuk rencana dan ulasan-ulasan yang memohon agar kaum militer Suharto bercampur tangan dengan mengambil pengendalian langsung atau memasang boneka yang dapat ditunjukkan sebagai pembawa reformasi demokrasi, hal itu akan lebih baik bagi kepentingan kapitalis, untuk menghancurkan bahaya sosial dari bawah dan memaksakan peraturan-peraturan ekonomi yang dituntut oleh I.M.F dan bank-bank internasional.
Menurut Koran New York Times , di dalam tanjuk rencananya pada tanggal 15 Mei berjudul "Sunset for President Suharto" (Matahari terbenam untuk Presiden Suharto), menyarankan bahwa sudah saatnya bagi kaum militer untuk mengambil tindakan ("…..mungkin tentara itu harus berbalik melawannya untuk memberhentikan penumpahan darah…"). Walaupun demikian tanjuk rencana itu menjelaskan bahwa keseganan koran Times kepada penumpahan darah itu adalah berdasarkan pemilihan. Dia menginginkan agar pembunuhan Mahasiswa-mahasiswa yang protes segera diberhentikan, paling tidak untuk sementara ini, dan seharusnya kekuatan penembak itu ditujukan kepada lapisan masyarakat yang miskin dan berani mati: "Kaum militer sebenarnya harus menolak penindasan protest damai itu and memusatkan perhatiannya untuk menghentikan perampokkan dan gerombolan kejahatan."
Dengan mengunakan hal itu sebagai dasar dia mendesak untuk penempatan pemerintah reformasi di Indonesia yang sebanding dengan Kim Dae Jung di Korea Selatan, seperti yang koran Times itu tunjukkan, " telah berhasil membujuk rakyat untuk menerima peraturan-peraturan yang tidak bisa dilaksanakan oleh pemegang jabatan sebelumnya.
Kaum buruh Indonesia, petani-petani miskin dan mahasiswa-mahasiswa harus memusatkan perhatian kepada resep yang diberikan oleh koran Times kepada tanah airnya. Hal ini akan membantu untuk mengusir khayalan di dalam kepalsuan demokrasi dari America Serikat dan melawan penyalah-tempatan kepercayaan di dalam borjuis oposisi Suharto.
Contoh-contoh yang diberikan oleh pemerintahan Kim Dae Jung telah membuktikan dengan tepat bahwa pengangkatan liberal burjois kekekuasaan – meskipun dengan surat-surat kepercayaan tertentu – tidaklah akan memecahkan masalah-masalah demokrasi dan kekurangan-kekurangan sosial yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Dengan sebaliknya, rejim yang seperti itu akan menjadi alat-alat baru untuk memaksakan perintah-perintah dari kapital internasional dan kepentingan-kepentingan pemeras-pemeras pribumi, sehingga jalan menuju ke arah penindasan berdarah yang baru tidak akan dapat dihindari.
Setiap partai burjuis dan politikus di Indonesia sudah dicemari bukan saja dengan sebuah sejarah kerjasama dengan Suharto, tetapi juga oleh ketegantungan yang objektif pada biro-biro peminjaman dari kapitalisme. Mereka tidak berbicara untuk kaum buruh dan orang-orang yang tertindas, tetapi malah untuk golongan atas yang berpikiran sempit, yang kedudukan istimewanya berdasarkan atas pemerasan buruh-buruh, dan didukung oleh korporasi-korporasi yang dapat berpindah dari satu negara ke negara lainnya dengan mudah dan pemerintah imperialisme.
Gerakan mahasiswa yang besar harus mempertahankan kemandirian politik yang lengkap jauh dari perwakilan burjuis Indonesia. Jangan menaruh kepercayaan kepada tokoh seperti Amien Rais, pemimpin dari organisasi Islam yang terbesar di Indonesia atau Megawati Sukarnoputri, anak perempuan Sukarno yang memegang jabatan sebelum Suharto.
Megawati Sukarnoputri banyak disamakan dengan Corazon Aquino, tokoh reformasi burjuis yang dipergunakan oleh America Serikat untuk mengantikan rejim Marcos di Filipina dua belas tahun yang lalu. Tidak ada seorangpun yang harus mempunyai khayalan bahwa Aquino dan pergerakan "people’s power" telah menolong pembebasan rakyat Filipina dari penguasa imperialis, pemerasan atau kemiskinan. Sebaliknya, peranan mereka yang terpenting adalah untuk mempertahankan kedudukan dan menopang kepentingan-kepentingan dari kapital internasional, dibawah keadaan dimana Marcos sudah tidak dipercayai sehingga dia tidak dapat lagi menjalankannya.
Lebih dari itu, Aquino naik kekekuasaan ketika ekonomi di Asia Selatan sedang mencapai titik kemajuan yang tinggi. Seorang Megawati atau Amien Rais akan naik kekekuasaan di Indonesia dalam situasi-situasi yang sebaliknya – di tengah-tengah kehancuran ekonomi. Mereka akan mempunyai ruangan yang sempit untuk mempersiapkan siasat, dan pada akhirnya kepalsuan demokrasi mereka akan segera membuka jalan untuk pemaksaan politik-politik kekerasan dan peraturan-peraturan militer-polisi akan dibutuhkan untuk melaksanakannya.
Kekuatan sosial yang mahasiswa-mahasiswa harus berkisar dalam perjuangan untuk melawan pemerintahan diktaktor dan kekurangan-kekurangan sosial adalah kaum buruh yang jumlah dan kekuatan sosialnya sudah tumbuh dengan cepat lebih dari seperempat abad yang lalu.
Apakah yang kemudian harus menjadi tugas-tugas utama yang dihadapi oleh rakyat Indonesia? Sebuah rangkaian yang menyeluruh dari demokrasi dan masalah-masalah sosial yang saling berhubungan masih berdiri untuk diuraikan. Masalah-masalah yang paling dasar dari hak-hak atas demokrasi-kebebasan untuk berbicara dan berserikat, kebebasan untuk penyebaran berita, pemerintahan demokrasi yang sejati tidak dapat diuraikan secara tersendiri dari masalah-masalah sosial yang besar- pemberantasan kemiskinan, pengangguran, buta huruf.
Dan tidak ada penguraian yang sejati dan maju untuk masalah social yang besar ini, tanpa perebutan segala bentuk hak-hak istimewa dari golongan atas dan perjuangan, baik untuk sosial maupun politik persamaan (equality). Akhirnya, perjuangan untuk demokrasi dan persamaan adalah pertarungan untuk melawan imperialisme penguasaan dan wakil-wakilnya di Indonesia.
Bersama dengan tuntutan untuk hak-hak atas demokrasi yang penuh, gerakan-gerakan rakyat harus menegakkan tuntutan-tuntutan sosial dan ekonomi yang tidak akan tercapai tanpa adanya demokrasi yang sejati dan keadaan hidup yang pantas. Itu akan termasuk:
penolakkan akan pinjaman-pinjaman nasional yaitu cara-cara yang mana digunakan dengan bank-bank imperialis untuk mempertahankan pencekikannya kepada Indonesia ekonomi dan penyedotan keuntungan yang sangat besar dari pemerasan kepada para buruh.
Penyitaan bank-bank besar and industri-industri yang dikuasai oleh keluarga Suharto dan antek-anteknya, dan perubahannya sebagai milik umum dibawah kontrol yang demokrasi dari para buruh.
Untuk membuat tuntutan-tuntutan ini menjadi kenyataan, kaum buruh harus mendirikan susunan-susunan yang demokrasi dan mandiri untuk penguasaan politik. Berdasarkan dengan pabrik-pabrik, tempat-tempat pekerjaan dan lapangan-lapangan pekerjaan di pedesaan, para buruh harus berusaha untuk mendirikan dewan-dewan buruh, untuk membuat dasar-dasar umum bagi pemerintahan oleh kaum buruh.
Peristiwa-peristiwa di dalam beberapa tahun terakhir ini di Asia menunjukkan bahwa hal-hal dasar yang sama yang sedang dihadapi oleh para buruh dan rakyat jelata di Indonesia sebenarnya juga dihadapi oleh kakak dan adiknya di Thailand, Korea, Malasia, dan Cina, dan juga yang lama-lama menjadi terang adalah Jepang. Kaum buruh di Indonesia harus mengambil kepemimpinan dalam mendirikan perjuangan yang bersatu dengan para buruh di seluruh Asia.
Peristiwa-peristiwa di Indonesia telah menunjukkan dengan ledakan yang dashyat bahwa para buruh di seluruh dunia sedang memasuki sebuah masa revolusi yang baru. Tugas-tugas yang terpenting,dimana nasib dari masyarakat dunia akan bergantung adalah pendirian partai revolusi internasional. Partai ini telah dibuktikan di dalam komite International dari International keempat (International Committee of the Fourth International) yang pusat dari alat politiknya adalah World Socialist Web Site.
[+/-] |
The struggle for democracy in Indonesia |
What are the social and political tasks facing the masses?
By the Editorial Board23 May 1998
As this politically charged and eventful week draws to a close, the essential political and social issues underlying Indonesia's crisis are being brought into sharper relief. The formal resignation of Suharto has underscored the fact that the problems of political repression, unemployment, poverty, ethnic and religious discrimination and imperialist domination have far deeper roots than the avarice and corruption of an individual ruler.
Suharto's hand-picked successor and long-time crony B.J. Habibie has announced a cabinet
which contains many of the principal ministers of the former government, including both the armed forces chief General Wiranto as Defense Minister, and former military head Feisal Tanjung as Coordinating Minister for Political Affairs. One of the first decisions of this military regime was to order army troops into the Parliament House in Jakarta to forcibly remove thousands of students occupying the building and demanding broad democratic changes.
It is indeed difficult to argue with a straight face that Habibie embodies in the slightest degree the democratic aspirations of the Indonesian people. Bankers and politicians in the West, as well as many elements within the military and business circles of Indonesia, are skeptical that the new President will be able to impose the austerity policies demanded by the International Monetary Fund, quell the tide of social protest and restore economic and political stability. That is why, from the White House in Washington to the offices of bourgeois oppositionists in Jakarta, appeals are being made for a rapid transition to what is generally called meaningful democratic reform.
But what is the content of the "democracy" prescribed for Indonesia by capitalist leaders in the West and Suharto's bourgeois opponents at home? They all take as their starting point the necessity for Indonesia to pay off its loans to the imperialist banks and the IMF. The heart of the so-called reform program demanded by these financial institutions is the lifting of all restrictions on the exploitation of the country's natural resources and cheap labor by the transnational corporations.
For Suharto and his cronies, the IMF reforms may impose limitations on the looting of the national economy, but no one should doubt that their vast fortunes will be protected. General Wiranto has already pledged that the army will safeguard the Suharto family and their businesses.
For the masses of workers, peasants and poor people, on the other hand, the measures entail an
end to price subsidies for basic commodities, a continuation of mass layoffs and, in general, an incalculable intensification of social misery. Western sources openly predict a rapid rise in the official unemployment rate to 20 percent.
The task of political reform, as defined by those who accept the claims of the international banks, is to make such brutal austerity measures more palatable--and enforceable--by adopting the rhetoric and some of the outer trappings of democracy. But even as they talk of "people power" and the like, they insist that real power remain in the hands of Suharto's military--an institution that has the blood of hundreds of thousands of citizens on its hands.
This travesty of democracy highlights the glaring contradiction between the deeply-felt democratic and social aspirations of the broad masses of Indonesia, and the selfish interests of a very narrow layer of bourgeois and upper-middle-class elements, who are bound hand and foot to the imperialist financial institutions and governments.
Democracy for the masses of workers, peasants and youth means political freedom, an end to ethnic, religious or racial discrimination, and liberation from the crushing yoke of economic exploitation and poverty. Its realization is impossible without addressing and resolving in a progressive way the basic social issues confronting the masses of people. What are the measures that must be taken to lay the basis for such a democratic development?
1. Convene a constituent assembly, elected democratically on the basis of universal suffrage, to draw up the political framework for genuine reform. Such a body would express the aspirations of workers, peasants and the downtrodden masses as opposed to Suharto's rubber-stamp national assembly, the majority of whose delegates are hand-picked appointees or the vetted candidates of the three official, state-run political parties. For democratic elections to take place, all of the regime's anti-subversion laws and restrictions on political parties, free speech and free assembly have to be repealed. All political prisoners must be freed immediately.
2. Liberate the peasantry from the yoke of political and economic oppression. Millions of small farmers lead a marginal existence, in debt to the money lenders, lacking tools, machinery and fertilizers, and facing extended drought. Many have been forced off the land altogether by the spread of agribusinesses. The big landed estates and plantations must be nationalized, under the control of the peasants and agricultural workers, so as to provide the means of support for the small farmers.
3. Economic security for the workers and urban poor. Millions of workers have been thrown out of work over the last year, greatly swelling the ranks of the impoverished in the shanty towns of Jakarta and other major cities. Every worker must be guaranteed a job with decent wages and conditions. A vast expansion in welfare, public health care and housing is necessary to provide for the elderly, the disabled, and the economically displaced. All young people must have access to free, high quality education.
The first step is the confiscation of the billions of dollars in assets of Suharto, his family and his political cronies, and the transformation of their corporate holdings into public entities under workers' democratic control.
4. Full equality for all religious, ethnic and racial groups within Indonesia. Since the formal independence of Indonesia, the ruling class has, time and again, deliberately inflamed racial and religious differences to set working people against each other. All laws and regulations discriminating against ethnic Chinese and other groups in relation to job appointments, citizenship, education and other rights must be abolished.
5. Immediate withdrawal of all Indonesian troops from East Timor and the establishment of fraternal relations with the people of the country. Hundreds of thousands have died in the protracted war waged by the Suhurto junta to assert its domination over the people and resources of East Timor.
6. Liberation from the oppression of the imperialist banks and governments. The IMF's demands are aimed at intensifying the exploitation of the Indonesian working class to greatly expand the profits flowing into the coffers of the transnational corporations. The IMF's plan must be repudiated along with the billions of dollars in foreign debt owed to the international banks and finance houses.
None of these measures will be carried out by any faction of the Indonesian bourgeoisie or any of the bourgeois opposition forces, least of all by Amien Rais, whose Islamic Muhammadiyah organisation is thoroughly steeped in racism and played a direct role in the bloody massacres during Suharto's 1965-66 military coup.
The entire history of post-war Indonesia demonstrates the utter incapacity of the capitalist class
to meet the needs and aspirations of the working masses for democratic rights and a decent standard of living. Completely subservient to international finance capital, the bourgeoisie has repeatedly resorted to dictatorship, in one form or another, in order to enforce its rule. Under today's conditions of economic and political turmoil, it has no choice but to use the most brutal methods to impose its economic dictates.
Only the working class is capable of leading the masses of the oppressed on the road to genuine democracy, and that is inseparable from the struggle for socialism. The workers must begin to build up their own democratic organs, forge an alliance with the poor peasants, the urban poor and the hard pressed professional layers, and fight for the establishment of a workers' and peasants' government.
Sabtu, 29 September 2007
[+/-] |
Hak demokratik dan ‘hudud’ |
Soal ‘padang tidak sama rata’ dan hubungannya dengan PAS, harap janganlah mengulang-ulang hujah sedemikian dengan saya. Tulisan seseorang yang memperkenalkan dirinya sebagai ‘Ahli PAS Bangsar’ (APB) dalam suratnya ‘Tulisan Fathi Dijawab’ (Malaysiakini.com, 14 April 2005) dirujuk.
Selain muak, saya telah berkali-kali menulis di kolum ini dan beberapa penerbitan lain sejak bertahun-tahun yang lalu. Saya sendiri tidak faham kenapa parti Islam ini, dan rakan-rakannya dalam Barisan Alternatif, ‘tidak serius’ dengan persoalan ini – usaha-usaha membesarkan ruang demokrasi tetapi tanpa sepenuhnya disedari, mereka turut menganut nilai-nilai dan amalan – amalan tidak demokratik.Malah, saya sendiri bingung kenapa PAS (atau aktivis Islam) sendiri menghayati budaya buruk tidak demokratik itu, ingin menyekat orang lain daripada bersuara. Sedangkan tidakkah pada asalnya mereka turut menentang realiti buruk ‘padang permainan yang tidak sama rata’ itu?
Misalnya, kenapa susah bagi mereka menulis jawapan, atau memberi penjelasan, dengan tenaga dukungan hampir 500,000 ahli dan penyokong di serata negara? Sudah terlalu sering saya bersuara di sini sehingga tidak wajarlah saya mengulang-ulangkan lagi hal ini di sini. FATHI ARIS OMAR, pernah bertugas bersama Malaysiakini.com, kini wartawan bebas. ‘Tiada Noktah’ cuba mengungkapkan isu-isu yang saling bergabung jalin antara media, wartawan, buku, penerbitan, teknologi maklumat dan sosio-politik negara kita. Penulis boleh dihubungi di faomar@yahoo.com.
Elok juga jika rencana-rencana di kolum saya itu, (jika mahu) buku terbaru saya Patah Balek: Catatan Terpenting Reformasi (Februari 2005) dilihat kembali kerana kelihatan APB tidak mengikut semuanya dengan baik – dan membuat pertanyaan terhadap isu-isu ‘lama’ yang saya sendiri sudah mengulasnya atau pernah mempertanyakannya.
Seharusnya sebagai anggota PAS, penulis surat ini bertanya kepada partinya sendiri – kenapa langkah-langkah ke arah membesarkan ruang demokrasi tidak serius ditanggapi parti Islam tetapi kelihatan lebih sibuk menjaga ‘tepi kain orang lain’ (kata orang Melayu). Apakah PAS berharap mendapat manfaat tertentu di sebalik ‘kain’ itu?
Tidak pernah serius
Isu kebebasan akhbar, kebebasan berceramah, kebebasan akademik, kebebasan kreatif dan mereformasikan pilihanraya (agar bebas dan adil) tidak pernah serius dan tekal (consistent) diperjuangkan mereka. Semua isu ini telah saya sentuh melalui kolum ini dan (mungkin) tidak keterlaluan jika bidang garapan isu-isu saya di sini jauh lebih melebar (tetapi tidak mestinya mendalam atau bernas) daripada PAS yang besar dan berpengaruh itu!
Jawatankuasa Monitor Media (JMM) yang menganjurkan boikot kepada beberapa media arus perdana pada 2000 tidak mendapat dukungan rasmi BA. Ia diusahakan, dengan penuh ketabahan, oleh Rustam A Sani (penulis dan orang kuat PRM) dan kartunis Zunar – inilah hakikatnya yang saya sangat tahu tetapi sengaja tidak mahu mengulang-ulangkannya.
Begitu juga kedudukan Kumpulan Aktivis Media Independen (Kami) dan jurucakapnya Ahmad Lutfi Othman di mata parti-parti pembangkang. Kami tahu, waktu itu ketua pembangkang merupakan presiden PAS, Fadzil Noor (almarhum). Wah, Kami mengalami hal yang sulit (sangat payah) untuk menyedarkan betapa pentingnya hal ini.
Malah, pernah dalam satu diskusi tertutup, seorang naib presiden PAS (saya enggan menyebut namanya) melihat suasana demokrasi ‘baru’ di Indonesia (termasuk kebebasan akhbar) selepas kejatuhan Soeharto pada Mei, 1998 boleh menggalakkan pornografi! Apakah begini caranya persoalan demokrasi dan kebebasan vis-à-vis reformasi di Indonesia dilihat oleh orang teratas dalam kepimpinan PAS? Sungguh dangkal dan memalukan!
Begitu juga ketika Harakah dikurangkan kekerapannya dan ketua pengarangnya Zulkifli Sulong dibawa ke mahkamah, kita tahu betapa tidak seriusnya PAS melihat isu ini. Tidak jauh bezanya ‘perlawanan’ PAS yang ‘hangat-hangat tahi ayam’ apabila dilarang berceramah (tanpa sebab logik dan munasabah) mulai Julai 2001. Hanya sebulan dua sahaja penentangan itu dibuat di satu dua negeri. Kemudian, PAS menerima ‘padang permainan yang tidak sama rata’ itu, ‘tewas’ dan tidak sungguh-sungguh membawa isu ini lagi.
Begitulah juga sikap PAS terhadap royalti minyak di Terengganu. Susah sekali mahu mengajak parti ini menganjurkan acara-acara lain (maksudnya, kempen yang lebih serius dan berpanjangan), misalnya demonstrasi (kecuali menjelang pilihanraya kecil Lunas akhir 2000), kecuali solat hajat, berceramah dan kemudiannya ke mahkamah.
‘Kemelut media’
Lihat juga sikap parti-parti pembangkang, termasuk PAS, terhadap isu Akta Rahsia Rasmi (OSA) yang terkenal kepada Mohamad Ezam Mohd Nor pada 2002. Isu ini tenggelam arah dan kempennya tidak pernah meluas. Dalam pakatan pembangkang dan badan bukan kerajaan (NGO), kita bersama mendirikan ‘Gerakan Mansuhkan ISA’ (GMI) tetapi kenapa ISA, atau undang-undang seumpamanya, mahu dikenakan ke atas 50 NGO dan lebih 200 anggota seperti disuarakan oleh Ketua Pemuda PAS, Salahuddin Ayub?
Tidakkah ini sejenis budaya anti-demokratik yang asalnya dimulakan dan berkembang biak di bawah pemerintahan Barisan Nasional dan Umno? Kenapa, misalnya, sulit bagi Dr Haron Din dan Abdul Ghani Shamsuddin menjawab (secara tenang dan meyakinkan) beberapa persoalan yang dibangkitkan oleh Farish A Noor tahun lalu? Kenapa mereka cenderung membataskan kolumnis ini dan menjawabnya dengan ‘nada serangan’ (peribadi)?
Banyak juga isu dalaman yang saya tahu tentang PAS tetapi tidak tergamak saya siarkan secara terbuka, perinci dan terus terang di sini kerana jauh ‘lebih memalukan’. Lalu, saya menulis secara umum sahaja. Kenapa saya ‘gagal’ berterus-terang, saya telah jelaskan di kolum ini beberapa tahun lepas dan melalui buku saya itu Patah Balek, bab ‘Kemelut media’ (khususnya muka surat 75-86).
Sebagai seorang individu, tidak mungkinlah saya mengulas semua perkara. Penulis kolum ada keterbatasannya sendiri. Tetapi dari segi prinsipnya, dalam persoalan hudud, saya mendukung hak demokratik PAS menjalankan undang-undang itu di negeri bawah pentadbirannya. ‘Hak demokratik’ di sini maknanya penguasaan ke atas dua negeri itu diperolehi melalui pilihanraya umum dan pelaksanaan hudud telah disebut dalam manifestonya. Jadi, bolehlah diandaikan rakyat negeri itu, misalnya Terengganu, bersedia dengan hudud ketika memilih PAS pada 1999.
Tetapi menjadi hak demokratik juga untuk seseorang warga membantahnya (pelaksanaan hudud) walaupun sesuatu peraturan telah digubal dan sedang beroperasi, seperti kita saat ini membantah beberapa peraturan yang ada (Akta Penerbitan & Mesin Cetak, Akta Universiti & Kolej Universiti, OSA atau ISA – sekadar menyebut beberapa contoh popular). Rakyat, sebagai kelompok yang lemah, sentiasa harus diberi ruang untuk menegur atau menyuarakan kritik terhadap negara (yang memiliki kuasa besar).
Tetapi saya syak, kita tidak akan dibenarkan menentang pelaksanaan hudud, kononnya menentang undang-undang Islam boleh dianggap ‘murtad.’ Orang yang menentang enakmen hudud boleh dikenakan hukuman pula. Kediktatoran agama akan bermula di sini. Tersembunyi di sebalik tafsir agama PAS itu – nilai, tujuan, jalan dan penghayatan yang tidak demokratik. Di sini, saya tidak sejalan dengan PAS dalam memahami agama dan demokrasi.
Kepentingan elit
Bagi saya, untungnya model demokrasi, jika berjalan dengan baik, ia membenarkan ‘semak dan imbang’, menggalakkan pluralisme dan merangsang terus-menerus penyertaan ramai. Demokrasi, pada teorinya, cuba sentiasa menyoal siasat kekuasaan. Kuasa dilihat sebagai korup dan cenderung korup. Kepentingan elit berkuasa sangat berbahaya kepada kesejahteraan masyarakat yang diperintah. Beginilah model demokrasi (dan nilai demokratik) melihat kuasa dan segala instrumen kekuasaan, termasuk undang-undang.
Dengan kata seorang tokoh pemikir liberalisme (saya lupa namanya tetapi ada petikannya di sebuah buku yang diedarkan oleh yayasan Friedrich Naumann Stiftung (FNS) di Kuala Lumpur), “negara itu keburukan yang tidak terelakkan” (the state is necessary evil). Di bawah model demokrasi, kuasa diharapkan menjadi terpecah-pecah, tidak memusat pada seseorang atau sesuatu kelompok elit. Tetapi itu hanyalah impian terunggul demokrasi sebagai satu model kekuasaan.
Demokrasi sendiri juga mudah terdedah kepada manipulasi oleh penguasa dan pembangkang, sama sahaja dengan ‘negara Islam’ atau ‘pelaksanaan syariah’. Tidak ada jaminan ia tidak diperkudakan oleh manusia (kerajaan Islam). Kekuatan demokrasi hanya dapat dipertahankan jika kita dapat memberdayakan rakyat atau masyarakat sivil. Rakyat yang celik politik, berfikiran kritis dan mempunyai saluran untuk bersuara. Hal ini tidak berlaku sekarang di negara kita kerana sebab yang sama-sama kita fahami.
Maksudnya, demokrasi itu membudaya dalam masyarakat umum sehingga ibu bapa, guru, birokrat, teknokrat dan ahli politik berasa malu lagi ‘berdosa’ untuk tidak menghayati nilai demokratik. Kelihatan nada saya ini semacam ‘unggul’ atau ‘khayalan’ tetapi sedikit sebanyak demokrasi ini telah berjaya ditegakkan di beberapa negara (tetapi tentunya tidak sempurna). Demokrasi memang bermula pada premis ‘ketidak-sempurnaan’ ini dan meletakkan prosesnya sebagai perjuangan yang berterusan dan tanpa selesai.
Tentang demokrasi, saya telah menghuraikan hal ini pada hujung artikel berjudul ‘Kritik agama untuk Islam sivil’ (lima siri) di lamanweb Ummahonline.com
Tetapi persoalan kerajaan PAS itu, dalam konteks pelaksanaan enakmen hudud, sangat bergantung pada keterbatasan kuasa pada kerajaan negeri. Kononnya, penguatkuasaan jenayah ada pada kerajaan pusat sahaja, sementara kerajaan negeri (dalam hal-ehwal agama) mempunyai kuasa terbatas. Hal itu terpulanglah pada PAS sendiri, sama ada ingin mencabar penafsiran ini di mahkamah, mengajak rakyat ke jalan raya (saya tidak ada apa-apa masalah dengan demonstrasi) atau meneruskan dakwahnya.
Menjual idea
Saya tidak pernah berhalangan dengan usaha PAS Wilayah Persekutuan yang melancarkan dakwahnya di Bukit Bintang dan Bangsar baru-baru ini tetapi sentiasa akan mengecam nada-nada seumpama Salahuddin Ayub dan laporan-laporan polis seperti PAS di Pulau Pinang dan Negeri Sembilan. PAS Wilayah mengambil langkah bersaing (menjual idea dalam pasaran idea) tetapi PAS di tempat-tempat lain itu menganggap bersuara itu sendiri satu jenayah – nilai inilah yang saya bantah dengan tegas.
Nilai seumpama inilah yang Kami (Kumpulan Aktivis Media Independen) tentang habis-habisan, bukan sahaja kepada wartawan, tetapi juga kepada aktivis NGO, mahasiswa dan ahli-ahli politik. Nilai inilah yang menjadikan demokrasi kita itu ‘padang permainan yang tidak sama rata’! Apakah APB, Salahuddin dan PAS umumnya itu tidak (mahu?) faham? Ini persoalan yang paling fundamental!
Dipendekkan cerita, saya kini menfokuskan penelitian dan perbahasan bagaimana suasana tidak demokratik di negara kita sejak dulu – termasuk tradisionalisme, konservatisme dan feudalisme Melayu – telah menguasai akal bawah sedar, jiwa, bahasa, gelagat dan tindakan kita bersama. Ia telah membudaya. Hal yang sama saya nampak pada PAS dan budaya politik kita, yang turut merebak pada aktivis mahasiswa, seniman, wartawan, cendekiawan dan ulama kita.
Bagi saya, Islam di negara kita ialah ‘Islam Melayu’ dan ‘Islam Malaysia’, maksudnya agama yang telah berjaya diresapi unsur-unsur buruk suasana tradisionalisme, konservatisme, feudalisme dan tidak demokratik yang telah lama berkembang. Kita tidak memahaminya, sebab itu kita membantahnya. Kita akan temui jenis-jenis Islam yang berbeza-beza, bergantung pada jenis budaya penerima, misalnya di Indonesia dan Iran.
Jelas kelihatan pengalaman dan dinamika ‘Islam’ di negara kita dengan negara jiran kita itu. Pengalaman beragama tidak tunggal dan tidak mutlak tetapi sangat kontekstual dan nisbi. Tetapi aktivis Islam di negara ini enggan mengiktirafnya. Mereka sentiasa percaya pada kemutlakan wahyu tanpa mengiktiraf adanya kenisbian penghayatan agama pada diri manusia (individu), kelompok, masyarakat dan negara.
APB menyimpulkan: “PAS adalah pihak yang tertekan dan ditekan. Mereka dikunci mulut, diikat kakitangan. Justeru itu, tidak adil untuk menghukum PAS dalam situasi begitu”. Kemudian dia bercakap tentang bom dan Palestin dengan nada kecewa dan patah hati.
Tidak bersungguh-sungguh
Tenang kawan, kita belum sampai di peringkat itu dan malah, banyak jalan yang belum diterokai. Malah, jika sudah diterokai, mungkin belum sungguh-sungguh.
Dalam al-Quran, ada kecaman terhadap orang yang berpura-pura beralasan tidak mampu berhijrah ke Madinah, dan mahu terus tinggal di Mekah, dengan kata mereka kaum mustadh’afin (kaum tertindas) tetapi Allah mengecamnya kerana pada hakikatnya mereka tidak sungguh-sungguh berusaha melepaskannya diri mereka daripada belitan hidup di kota Mekah.
Al-Quran menganggap mereka itulah yang menzalimi diri mereka sendiri; mereka bukanlah mustadh’afin. Jadi janganlah mudah-mudah berlagak ‘tertekan dan ditekan’ tanpa banyak memuhasabah gerak politik kita (aktivis dan pembangkang) sendiri – sama ada sudah serius atau masih banyak yang main-main.
Jawapan APB ini, dalam konteks wacananya dengan saya, seolah-olah ingin membayangkan bahawa suasana tidak demokratik itu ‘wajar’ dijawab dengan mengamalkan sejenis taktik tidak demokratik yang lain. Sering aktivis Reformasi dan pemimpin BA (yang saya selalu berhujah sejak 1998) menyebut ‘padang permainan yang tidak sama rata’ dengan maksud tersiratnya begini.
Pandangan seumpama ini, pada saya, akan menjerumuskan kita semua dalam pusaran ganas
jiwa, nilai hidup dan taktik tidak demokrasi. Oleh itu, semakin sukarlah kita semua melepaskan diri daripada cengkaman yang ada.
BN dan Umno, dibimbangkan, akan digantikan dengan parti baru yang sama atau lebih tidak demokratik. Fokus saya, mengingatkan akan ‘kemungkinan buruk’ ini.
Tetapi sulitnya berhujah dengan PAS dan aktivis-aktivis Islam umumnya ialah kedangkalan kefahaman mereka tentang demokrasi itu sendiri. Dalam artikel lepas, sya menyarankan agar kedangkalan ini harus diatasi dan menjadi tanggungjawab mereka yang berpendidikan bukan ulama memberi fokus yang serius dalam isu-isu yang saya bangkitkan terdahulu.
Dalam al-Quran ada seruan agar ‘tidaklah wajar semua orang Islam itu semuanya keluar berperang, sebilangannya harus menimba pengetahuan agar mereka yang berperang itu (apabila selesai dari medan) pulang dan mempelajarinya.’
Dalam konteks hari ini (pada kefahaman saya), janganlah semua orang berlagak dan berjiwa seperti seorang ahli politik dan aktivis. Harus ada sekelompok orang yang tajam lagi bernas kesarjanaan mereka; dari sinilah persoalan kontemporari dapat dibahas dengan lebih luas, rasional dan tenang.
NOTA: Kerana keterbatasan ruang, artikel ini tidaklah menjawab satu persatu inti perhujahan ‘Ahli PAS Bangsar’ tersebut tetapi sekadar meletakkan perspektif umum yang menjadi tema utama penulis kolum ini. Mungkin di kesempatan lain, isu-isu berbangkit tersebut boleh dibincangkan lagi.
[+/-] |
Budaya Sex Nusantara Hingga 1945 |
(*Diilhami oleh komentarnya Daeng Ruslee di postingan terdahulu dan tangisan Mamanya Nina beberapa tahun lalu. Ia, orang tua siswi saya. Meminta saya melakukan injeksi SQL di sebuah forum nasional ternama lalu mencopot sebuah thread yang memajang file 3GP porno anaknya. Permintaan melakukan kejahatan itu saya turuti. Sebab walaupun belum punya anak, ada 60 lebih anak jalanan yang saya urus sedang belajar melek internet dan intip-intip situs porno. Membuat hati saya ketar-ketir juga*).
Dalam sebuah pidatonya, sastrawan terkenal, Taufik Ismail menyinggung mengenai kebablasannya dunia media menyikapi dunia seks di Indonesia. Pidato itu begitu menghebohkan. Hingga dikupas oleh blogger seterkenal Herman Saksono hingga dimuat kutipan pembantahannya oleh jurnalis PANTAU Andreas Harsono. Pokoknya, heboh.
Lepas dari pro kontra mengenai pidato Opa Taufik. Ada hal yang patut dicermati, yaitu topik pidato itu sendiri, Seks.
Mengapa seks menjadi sebegitu terkenalnya? Hingga harus jadi buku best seller di tangan seorang Moamar Emka? Atau dibicarakan secara berapi-api oleh para sastrawan muda dan tua Indonesia? Atau malah menghasilkan US$ 2 miliar transaksi online di dunia internet hanya pada tahun 2006?
Jawabannya bisa anda temukan di buku The Zahir karya Paulo Coelho. Katanya, gara-gara makanan. Aneh? Kalau penasaran, bisa anda baca sendiri di halaman 200 hingga seterusnya.
Tapi sayang sekali, saya tidak akan mengupas pidato Taufik Ismail, pro kontra eksploitasi seks di media Indonesia, bisnis seks di internet atau buku Paulo Coelho.
Saya akan membicarakan budaya seks di Nusantara. Hehehe.
(*Ketika yang lain bicara Hari Kemerdekaan RI, lagu kebangsaan yang kontroversi, lambang negara yang bias gender hingga bendera nasional yang katanya hanya modal ngerobek kaen biru bendera Belanda. Saya malah bicara topik abu-abu begini. Saya sudah pasrah. Apabila dituduh bandar seks setelah posting ini. Hehe*)Budaya Seks Nusantara
Seks selalu tabu di Indonesia dan akan tetap selalu tabu. Setiap anak di Indonesia dilarang bicara seks… apalagi melakukan tindakan seks (sebelum menikah). Norma agama, budaya, hukum rajam, hingga neraka adalah padanan kata setiap pembicaraan mengenai seks, terutama seks bebas.
Hasil pelarangan bicara itu banyak. Ada positif ada negatif. Setahu saya, lebih banyak negatifnya (*subjektif sekali, kacamata pribadi*). Sebab anak-anak itu, terdorong oleh lingkungan dan insting alamiahnya, mencari jawaban. Buruknya, jawaban itu tidak meluncur dari mulut orangtua yang bijak (karena si orangtua sendiri minim pendidikan seksnya). Jawaban itu, muncul dari coretan-coretan dinding di WC sekolah, di cerita-cerita erotis cabul, diantara gambar-gamba perangsang syahwat hingga di bagian utama film biru.
Anak-anak distimulasi… Agar seliar imaji yang mereka tangkap.
Salah siapa?
Percuma, kalau mencari kesalahan. Generasi berganti, mulai dari abdi Wangsa Sanjaya hingga hamba Miyabi. Tidak akan ada solusi.
Coba kita runut akarnya.
Indonesia, sebelum bernama Indonesia, masih berbentuk kerajaan-kerajaan Nusantara, sudah mengenal budaya seks. Sebuah budaya yang melibatkan seks didalamnya.
Abad 8, Relief Karmawibangga bagian bawah di Borobudur dengan terang-terangan dipahat para pandita agung menggambarkan posisi ideal bercinta ala Kamasutra. Hingga akhirnya ditutup oleh pemerintah kolonialis Belanda. Alasannya, tidak sesuai norma agama Belanda.
Pada abad 11, muncul sekte varian Buddha di Sumatera, Jawa dan Bali. Namanya Tantra. Salah satu ajarannya, untuk berhubungan dengan tuhan dan mencapai surga harus makan ikan, menari dan bersenggama, antar pemeluknya.
Tahun 1359 Saka atau 1437 Masehi, didirikan Candi Sukuh. Kontroversi. Sebab banyak memuat perwujudan genital pria wanita. Perwujudan ini sebenarnya lebih cenderung ke arah paganisme, pemujaan wanita dan reproduksi sebagai pelambang kesuburan.
Sekitar 1620-21 (*masih diperdebatkan kejelasan tahunnya*), Inggris mengirimkan dua wanita berkulit putih ke Aceh untuk dijadikan selir Sultan Iskandar Muda. Pengiriman ini untuk membujuk sang Sultan membantu Inggris mengenyahkan musuh bersama mereka dari Nusantara, yaitu Portugis. Sejarah tidak pernah mencatat, bahwa sang Sultan nan agung dan tampan itu menolak hadiah luar biasa Inggris ini.
1814, Serat Centhini, mengupas beberapa bagian hubungan suami istri di kalangan bangsawan-bangsawan Jawa, dilepas oleh Pakubuwana VII ke khalayak publik yang diwakili pemerintah kolonial Belanda.
1900Rumah candu, yaitu rumah-rumah yang menjual candu dan dipakai untuk menghisap candu, atas ijin pemerintah kolonial Belanda, mempunyai fungsi ganda, tempat mabuk dan tempat bercinta. Rumah ini ditandai dengan cat mencolok berwarna merah. Lokalisasi pelacuran yang terkenal hingga saat ini di Belanda, The Red Light District, katanya diilhami dari rumah candu dan lokalisasi wanita penghibur nusantara berwarna cat merah itu.
1904Seorang wedana yang baru saja terpilih menjadi pemimpin sebuah daerah, mengadakan pesta rakyat tayub dan ronggeng (diskotik jadul). Pada pesta itu, sang wedana, dilaporkan memeluk pinggang sang penari ronggeng setelah memberi tip f5 (lima gulden). Lalu setelah memberi tip f20 (dua puluh gulden), sang wedana memuntir puting payudara terbuka si penari ronggeng. Semua itu dilakukan di depan istri raja dan putri-putri bangsawan.(*Jangan bayangkan gubernur yang baru terpilih, Fauzi Bowo melakukan tindakan yang sama di depan ibu Ani Yudhoyono, ndak sopan*)
1906Seorang Mas Ngabehi, anggota dewan penasihat Raja Pakubuwana X, dipermalukan di harian Darmo Konda, harian rakyat setempat. Sebab sang dewan ketahuan berbuat mesum dengan seorang penari ronggeng. Perbuatan itu diketahui setelah rumah tempat mesum mereka, jatuh berantakan terkena angin puyuh. Harian itu menggambarkan aksi mereka dalam pantun melayu sebagai berikut “Botjah Klentang toemboeh diatas, ikan blenak di rawa-rawa, Masbehi di bawah prampoean di atas, ampir mati bersama-sama” (Koentowijoyo, 1993).
1911Chiang Kai Sek menumbangkan The Last Emperor China, Pu Yi. Banyak pendukung kaisar lari ke luar negeri. Diantaranya ke Nusantara. Mereka mendarat di Singkawang Kalimantan Barat hingga pesisir Riau Sumatera. Diantaranya adalah perempuan-perempuan Cina yang dijual paksa oleh orangtuanya kepada bajak laut. Perempuan-perempuan ini banyak yang ‘dikaryakan’ di rumah bordil. Sejak saat itu, dominasi pelacur asal tiongkok tidak lagi dikuasai Kapitan Cina di Batavia.
1913Haji Ahmad Benyamins dari Semarang menulis dalam bukunya Bab Alaki Rabi: Wayuh Kalian Boten (Mengenai Perkawinan Poligami dan Monogami) yang menyerang mentalitas lelaki priyayi, bangsawan, pedagang, hingga kelas pekerja. Ia menyebut bahwa mentalitas lelaki pada masa itu tidak terkendali, menjadi budak nafsu, sementara libido mereka menyerupai orang Arab, melebihi orang Cina, tapi dalam bekerja dan menabung mereka tidak bisa meniru kedua bangsa tadi. (H.A. Benyamins, 1913)
Tahun 1933, Serat Centhini diterbitkan dan diteliti ulang oleh Pigeaud, ahli literatur Jawa, berkebangsaan Belanda. Budaya seks bangsawan jawa, dipublikasikan dalam bahasa Belanda, Perancis hingga Inggris. Seks Jawa, mulai melanglang dunia.
1942 - 1945Sado masochist, budaya seks kekerasan muncul. Budaya ini muncul akibat serdadu jepang yang tak kuasa menahan libido mereka lalu menggenjot paksa sekitar 7000 wanita Indonesia dalam perilaku seks yang buas. Perempuan-perempuan itu, entah di bawah umur, entah istri orang, entah tengah mengandung, apabila cantik, digotong paksa untuk mengangkang di kamp-kamp Jepang. Lalu diperkosa beramai-ramai.Setelah diperkosa, mereka dipasung dalam kerangkeng. Dikeluarkan sesekali, hanya untuk menerima sperma sang serdadu. Lagi-lagi, secara paksa.
Ok sampai sini dulu. Sebab bahasan saya, memang hanya hingga tahun 1945. Sebab setelah 1945, namanya sudah bukan Nusantara, melainkan Indonesia. Sebab katanya sudah merdeka.
Paparan kronologi diatas, hanyalah sedikit dari fakta dan data yang terumbar rapi di perpustakaan hingga aksara-aksara kuna prasasti Nusantara. Sebenarnya, jauh lebih banyak lagi. Semuanya gelap, rahasia, misterius dan ditutup-tutupi.
Yang pasti, budaya seks memang sudah ada sejak dulu kala. Makin ditutup-tutupi, makin merebak bagaikan cendawan di musim hujan. Memuaskan gairah liar para pria maupun wanita. Menembus jauh batas norma budaya dan agama. Menafikkan hukum rajam atau dosa neraka.
Budaya seks, ditutup-tutupi. Rapat. Bagaikan darah menstruasi. Sebab, timbul setitik saja pada baju luar, hilang sudah kecantikan disaputi rasa malu.
Budaya seks tertutup rapat. Hingga akhirnya, menyebar secara rahasia melalui telepon genggam dan monitor kita. Mengabarkan persetubuhan artis dangdut dengan wakil rakyat terpilih, ningrat baru bermuka baja.
Indonesia semakin tua.Budaya seks ditutup-tutupi.Buku sejarah dibakar.Dan, anak-anak muda semakin liar mencari jawaban atas mimpi-mimpi basahnya.
Dirgahayu Negeriku Tercinta.
[+/-] |
Wimar Witoelar: Menebar "Virus" Demokrasi |
Mantan juru bicara pada era Presiden KH Abdurrahman Wahid, Wimar Witoelar (62), ternyata masih setia menebar "virus" demokrasi ke seluruh pelosok negeri. Melalui Yayasan Perspektif Baru atau YPB yang didirikannya sejak tahun 1996, Wimar rajin mengajak "orang-orang biasa" di daerah mencurahkan gagasan seputar demokrasi.
Dengan bersemangat, saat menjadi moderator seminar tentang pemilihan kepala daerah (pilkada) bertemakan "Arti Pilkada bagi Orang Biasa", hari Selasa (4/9) di Pontianak, Kalimantan Barat, Wimar berujar, "Saya sering kali emosional ketika berbicara mengenai demokrasi."
Bagi Wimar, membicarakan demokrasi layaknya hobi. "Dengan demokrasi, hidup kita menjadi lebih enak," tutur pria bernama lengkap Wimar Jartika Witoelar Kartaadipoetra itu setengah berkelakar.
Dalam pandangan yang lebih serius, berkali-kali Wimar menekankan bahwa kemakmuran Indonesia hanya bisa dicapai dengan pluralisme dalam bingkai demokrasi.
Ya, semoga saja dengan "virus" demokrasi yang ditebar Wimar di berbagai daerah itu, suatu saat Indonesia dapat menuai kemakmuran. (WHY)
Selasa, 25 September 2007
[+/-] |
Demokrasi Itu Apa? |
Apabila ditanyakan kepadamu: Apakah demokrasi itu?
Maka jawablah: Demokrasi adalah suatu hukum yang berlandaskan atas kekuasaan rakyat, tidak dilandasi dengan Al-Kitab dan tidak pula As-sunnah.
Apabila ditanyakan kepadamu: Apa hukum demokrasi?
Maka jawablah: Demokrasi termasuk syirik Akbar (besar). Dalilnya firman Allah subhanahu wa ta’ala:
…إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ …
“Tidak ada hukum kecuali milik Allah.” (Yusuf: 40)
Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَلَا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَداً …
“Dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan”. (Al-Kahfi: 26)
Sumber: Mengenal Dasar-Dasar Tauhid, Fiqih, & Aqidah–terjemahan dari Kitab Mabadiul Mufidah fi At-Tauhid wa Al-Fiqih wa Al-Manhaj karya Syaikh Abu Abdirrahman Yahya Bin Ali Al-Hajuri hafidhahullah, Penerbit Maktabah Al-Ghuroba, hlm 76-77.
Sabtu, 22 September 2007
[+/-] |
Desentralisasi, Pilkada, dan Konsolidasi Demokrasi Lokal |
Satu peristiwa paling dramatis di akhir abad 21 adalah pergerakan Indonesia menuju demokratisasi. Perubahan dan transisi terjadi dimana-mana di seluruh penjuru negeri, tidak dapat dipungkiri bahwa kelahiran demokrasi di Indonesia membawa cerita yang tidak selalu manis. Namun demikian, keterbukaan politik yang dirasakan belakangan ini, pertumbuhan civil society, kebebasan media dan tuntutan akuntabilitas pemerintah telah menjadi warna demokrasi Indonesia. Saat ini semua kalangan masyarakat sudah menjadi partner dan stakeholder dalam demokratisasi Indonesia.
Hal ini terlihat dari dinamika masyarakat Lampung menyambut Pilkada yang akan diselenggarakan dalam waktu yang tidak lama lagi. Pembicaraan mengenai pilkada sudah menjadi bagian dari dinamika masyarakat lampung hari-hari belakangan ini dan sudah menjadi suatu yang awam dibicarakan berbagai kalangan masyarakat mulai dari pasar, kampus, sampai gedung pemerintahan. Tujuh tahun penyelenggaraan Desentraliasi di Indonesia setidaknya memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menikmati angin demokrasi lokal yang disebut Pilkada ini.
Pilkada sebagaimana diketahui bersama merupakan bentukan dari proses desentralisasi di Indonesia dengan dasar hukum UU No. 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah. Sejak 2001, Indonesia memulai kembali proses desentralisasi yang terhenti sejak digagas pertama kali tahun 1933 oleh Hatta dalam tulisannya “Autonomi dan Centralisasi dalam Partai” dan selama tujuh tahun ini kebijakan desentralisasi memberikan banyak warna terhadap perjalanan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Proses desentralisasi itu sendiri merupakan proses yang sangat penting dan menentukan masa depan Indonesia; Keberhasilan dan kegagalan kebijakan ini akan memberikan dampak yang sangat besar terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa terutama kehidupan demokrasi di Indonesia.
Demokrasi menurut Diamond harus dipandang sebagai fenomena yang berkelanjutan (Diamond: 1999). Dipandang dari perspektif ini, masa depan demokrasi adalah adalah tiada henti; elemen-elemen demokrasi akan muncul dan berkembang dalam berbagai tingkatan dan tahapan dengan tingkat kecepatan yang berbeda-beda di setiap negara. Perubahan demokrasi juga bergerak menuju arah yang berbeda, bisa menjadi semakin demokratik dan bisa juga semakin tidak demokratik. Oleh karena itulah demokrasi harus selalu diperkuat baik dengan penguatan institusi maupun penguatan civil society.
Tantangan bagi penguatan demokrasi atau konsolidasi demokrasi ini adalah bagaimana memberikan akses demokrasi kepada masyarakat dan pembentukan serta penguatan institusi-institusi demokrasi. Di titik inilah desentralisasi dengan perwujudan otonomi daerah memiliki peran yang sangat penting dalam konsolidasi demokrasi. Peran desentralisasi dalam konsolidasi demokrasi tersebut berasal dari adanya proses demokrasi yang memotivasi otoritas lokal dalam menjawab aspirasi dan kebutuhan konstituennya. Selain itu salah satu pemikiran diterapkannya desentralisasi adalah institusi demokrasi lokal akan lebih memahami dan merespon aspirasi lokal karena jika dilihat dari asfek jarak institusi dan masyarakat lokal yang dekat, mereka memiliki akses yang lebih baik terhadap informasi.
Desentralisasi bukan hanya persoalan pengaturan hubungan antar berbagai tingkatan pemerintahan namun juga merupakan persoalan mengenai hubungan antara negara dan rakyatnya. Kebijakan desentralisasi bukanlah tanggung jawab pemerintah pusat atau daerah semata namun juga merupakan tanggung jawab masyarakat lokal sebagai pihak yang memiliki hak utama dalam penyelenggaraan kehidupan lokal. Hal ini akan tercapai melalui lembaga perwakilan masyarakat lokal dalam wadah DPRD melalui proses pemilu yang bebas.
Demokratisasi di Indonesia kemudian diperkuat dengan adanya pemilihan kepala daerah secara langsung atau yang lebih dikenal dengan Pilkada mulai tahun 2005, di lampung sendiri, geliat Pilkada akhir-akhir ini semakin dinamis menandai dimulainya pertarungan para calon kepala daerah di beberapa kabupaten di Propinsi Lampung. Pilkada merupakan institusi demokrasi lokal yang penting karena dengan Pilkada, kepala daerah yang akan memimpin daerah dalam mencapai tujuan desentralisasi akan terpilih melalui tangan-tangan masyarakat lokal secara langsung. Kepala daerah terpilih inilah yang nantinya akan menjadi pemimpin dalam pembangunan di daerah termasuk di dalamnya penguatan demokrasi lokal, penyediaan pendidikan dasar dan layanan kesehatan, perbaikan kesejahteraan rakyat, penerapan prinsip tata pemerintahan yang baik dan lain sebagainya. Bagi calon incumbent yang maju untuk kedua kalinya, Pilkada menjadi sarana masyarakat lokal untuk mengevaluasi kinerja calon selama yang bersangkutan menjabat sebagai kepala daerah.
Nada pesimis dan pandangan negatif dari berbagai kalangan tentang pelaksanaan pilkada di Indonesia tidak meniadakan arti pentingnya institusi ini dalam konsolidasi demokrasi di era desentralisasi ini. Saat ini bagi masyarakat lokal yang terpenting adalah memilih kepala daerah yang dinilai mampu untuk memimpin daerah, dengan demikian sedikit banyak akan semakin memupuk dan memperkuat demokrasi lokal di Indonesia yang telah beranjak dewasa.
Rabu, 19 September 2007
[+/-] |
History of democracy |
Since World War II, democracy has gained widespread acceptance. This map displays the official self identification made by world governments with regard to democracy, as of June 2006. It shows the de jure status of democracy in the world. Governments self identified as democratic Governments not self identified as democratic.
This map reflects the findings of Freedom House's survey Freedom in the World 2007, which reports the state of world freedom in 2006. It is one of the most widely used measures of democracy by researchers. Note that although these measures (another is the Polity data described below) are highly correlated, this does not imply interchangeability.[14] Free. Freedom House considers these to be liberal democracies. [2] Partly Free Not Free
This graph shows Freedom House's evaluation of the number of nations in the different categories given above for the period for which there are surveys, 1972-2005
Number of nations 1800-2003 scoring 8 or higher on Polity IV scale, another widely used measure of democracy.
Still another measure of democracy is The Economist's Democracy Index. The palest blue countries get a score above 9, while the black countries score below 2.
[edit] Ancient origins
The concept of democracy first appeared in Ancient Greek political and philosophical thought. The philosopher Plato contrasted democracy, the system of "rule by the governed", with the alternative systems of monarchy (rule by one individual), oligarchy (rule by a small élite class) and timarchy (rule by one race or nationality over another).[15] Although Athenian democracy is today considered by many to have been a form of direct democracy, originally it had two distinguishing features: firstly the allotment (selection by lot) of ordinary citizens to government offices and courts,[16] and secondarily the assembly of all the citizens. All the Athenian citizens were eligible to speak and vote in the Assembly, which set the laws of the city-state, but neither political rights, nor citizenship, were granted to women, slaves, or metics. Of the 250,000 inhabitants only some 30,000 on average were citizens. Of those 30,000 perhaps 5,000 might regularly attend one or more meetings of the popular Assembly. Most of the officers and magistrates of Athenian government were allotted; only the generals (strategoi) and a few other officers were elected.[17]
One of the earliest instances of civilizations with democracy, or sometimes disputed as oligarchy, was found in the republics of ancient India, which were established sometime before the 6th century BC, and prior to the birth of Gautama Buddha. These republics were known as Maha Janapadas, and among these states, Vaishali (in what is now Bihar, India) would be the world's first republic. The democratic Sangha, Gana and Panchayat systems were used in some of these republics; the Panchayat system is still used today in Indian villages. Later during the time of Alexander the Great in the 4th century BC, the Greeks wrote about the Sabarcae and Sambastai states in what is now Pakistan and Afghanistan, whose "form of government was democratic and not regal" according to Greek scholars at the time.[18] The Republic of India is currently the largest democracy in the world.[19]
The Roman Republic had elections but again women, slaves, and the large foreign population were excluded. The votes of the wealthy were given more weight and almost all high officials come from a few noble families. [4]
Democracy was also seen to a certain extent in bands and tribes such as the Iroquois Confederacy. However, in the Iroquois Confederacy only the males of certain clans could be leaders and some clans were excluded. Only the oldest females from the same clans could choose and remove the leaders. This excluded most of the population. An interesting detail is that there should be consensus among the leaders, not majority support decided by voting, when making decisions.[5] [6] Band societies, such as the bushmen, which usually number 20-50 people in the band often do not have leaders and make decisions based on consensus among the majority.
[edit] Middle Ages
During the Middle Ages, there were various systems involving elections or assemblies, although often only involving a minority of the population, such as the election of Gopala in Bengal, the Polish-Lithuanian Commonwealth, the Althing in Iceland, certain medieval Italian city-states such as Venice, the tuatha system in early medieval Ireland, the Veche in Slavic countries, Scandinavian Things, The States in Tyrol and Switzerland and the autonomous merchant city of Sakai in the 16th century in Japan. However, participation was often restricted to a minority, and so may be better classified as oligarchy. Most regions during the middle-ages were ruled by clergy or feudal lords.
The Parliament of England had its roots in the restrictions on the power of kings written into Magna Carta. The first elected parliament was De Montfort's Parliament in England in 1265. However only a small minority actually had a voice; Parliament was elected by only a few percent of the population (less than 3% in 1780. [7]), and the system had problematic features such as rotten boroughs. The power to call parliament was at the pleasure of the monarch (usually when he or she needed funds). After the Glorious Revolution of 1688, the English Bill of Rights was enacted in 1689, which codified certain rights and increased the influence of the Parliament. [8] The franchise was slowly increased and the Parliament gradually gained more power until the monarch became largely a figurehead. [9]
[edit] 18th and 19th centuries
Although not described as a democracy by the founding fathers, the United States has been described as the first liberal democracy on the basis that its founders shared a commitment to the principle of natural freedom and equality.[20] The United States Constitution, adopted in 1788, provided for an elected government and protected civil rights and liberties. However, in the colonial period before 1776, only adult white male property owners could vote; enslaved Africans, free black people and women were not extended the franchise. On the American frontier, democracy became a way of life, with widespread social, economic and political equality.[21] However the frontier did not produce much democracy in Canada, Australia or Russia. By the 1840s almost all property restrictions were ended and nearly all white adult male citizens could vote; and turnout averaged 60-80% in frequent elections for local, state and national officials. The system gradually evolved, from Jeffersonian Democracy to Jacksonian Democracy and beyond. In Reconstruction after the Civil War (late 1860s) the newly freed slaves became citizens with (in the case of men) the right to vote.
In 1789, Revolutionary France adopted the Declaration of the Rights of Man and of the Citizen and, although short-lived, the National Convention was elected by all males. [10]
Liberal democracies were few and often short-lived before the late nineteenth century. Various nations and territories have claimed to be the first with universal suffrage.
[edit] 20th Century
20th century transitions to liberal democracy have come in successive "waves of democracy," variously resulting from wars, revolutions, decolonization, and economic circumstances. World War I and the dissolution of the Ottoman and Austro-Hungarian empires resulted in the creation of new nation-states in Europe, most of them nominally democratic. In the 1920s democracy flourished, but the Great Depression brought disenchantment, and most of the countries of Europe, Latin America, and Asia turned to strong-man rule or dictatorships. Fascism and dictatorships flourished in Nazi Germany, Italy, Spain and Portugal, as well as nondemocratic regimes in Poland, the Baltics, the Balkans, Brazil, Cuba, China, and Japan, among others. Together with Stalin's regime in the Soviet Union, these made the 1930s the "Age of Dictators" [11].
World War II brought a definitive reversal of this trend in western Europe. The successful democratization of the American, British, and French sectors of occupied Germany, Austria, Italy, and the occupied Japan served as a model for the later theory of regime change. However, most of Eastern Europe, including the Soviet sector of Germany was forced into the non-democratic Soviet bloc. The war was followed by decolonization, and again most of the new independent states had nominally democratic constitutions. In the decades following World War II, most western democratic nations had mixed economies and developed a welfare state, reflecting a general consensus among their electorates and political parties. In the 1950s and 1960s, economic growth was high in both the western and Communist countries; it later declined in the state-controlled economies. By 1960, the vast majority of nation-states were nominally democracies, although the majority of the world's populations lived in nations that experienced sham elections, and other forms of subterfuge (particularly in Communist nations and the former colonies.)
A subsequent wave of democratization brought substantial gains toward true liberal democracy for many nations. Spain, Portugal, and several of the military dictatorships in South America became democratic in the late 1970s and early 1980s. This was followed by nations in East and South Asia by the mid- to late 1980s. Economic malaise in the 1980s, along with resentment of communist oppression, contributed to the collapse of the Soviet Union, the associated end of the Cold War, and the democratization and liberalization of the former Eastern bloc countries. The most successful of the new democracies were those geographically and culturally closest to western Europe, and they are now members or candidate members of the European Union. The liberal trend spread to some nations in Africa in the 1990s, most prominently in South Africa. Some recent examples include the Indonesian Revolution of 1998, the Bulldozer Revolution in Yugoslavia, the Rose Revolution in Georgia, the Orange Revolution in Ukraine, the Cedar Revolution in Lebanon, and the Tulip Revolution in Kyrgyzstan.
The number of liberal democracies currently stands at an all-time high and has been growing without interruption for some time. Currently, there are 121 countries that are democratic, and the trend is increasing[12]. As such, it has been speculated that this trend may continue in the future to the point where liberal democratic nation-states become the universal standard form of human society. This prediction forms the core of Francis Fukayama's "End of History" theory. These theories are criticized by those who fear an evolution of liberal democracies to Post-democracy.
[+/-] |
Democracy |
Democracy describes a small number of related forms of government. The fundamental features of democracies include government based on majority rule and the consent of the governed, the existence of free and fair elections, the protection of political minorities, respect for basic human rights, equality before the law, due process, and political pluralism.[1] With origins in ancient Greece, Rome, South Asia, and North and South America [2] democracy has generally grown and expanded throughout history.[citation needed] The principles of democracy emphasize the importance of the individual in the context of government and, today, are a major influence around the world. Though the term democracy is typically used in the context of a political state, the principles are also applicable to other groups and organizations.In contemporary world politics, democracy has become a significant concept, with most nations in the world claiming to adhere to the broad principles of democracy. However, there is significant diversity among nations describing themselves as democratic in the modern world, making democracy increasingly difficult to define; for instance, the North Korean constitution describes North Korea as a democratic state,[3] but most commentators in Western nations have described it as a totalitarian dictatorship.[4]
exacta | |
Definition: | A method of betting, as on a horserace, in which the bettor must correctly pick those finishing in the first and second places in precisely that sequence. |
Synonyms: | perfecta |