“Supaya tercapai suatu masyarakat yang berdasarkan keadilan dan kebenaran, haruslah rakyat insyaf akan haknya dan harga dirinya. Kemudian haruslah ia berhak menentukan nasibnya sendiri perihal bagaimana ia mesti hidup dan bergaul”
-Mohammad Hatta-
Diskursus demokrasi di Indonesia tak dapat dipungkiri, telah melewati perjalanan sejarah yang demikian panjangnya. Berbagai ide dan cara telah coba dilontarkan dan dilakukan guna memenuhi tuntutan demokratisasi di negara kepulauan ini. Usaha untuk memenuhi tuntutan mewujudkan pemerintahan yang demokratis tersebut misalnya dapat dilihat dari hadirnya rumusan model demokrasi Indonesia di dua zaman pemerintahan Indonesia, yakni Orde Lama dan Orde Baru. Di zaman pemerintahan Soekarno dikenal yang dinamakan model Demokrasi Terpimpin, lalu berikutnya di zaman pemerintahan Soeharto model demokrasi yang dijalankan adalah model Demokrasi Pancasila. Namun, alih-alih mempunyai suatu pemerintahan yang demokratis, model demokrasi yang ditawarkan di dua rezim awal pemerintahan Indonesia tersebut malah memunculkan pemerintahan yang otoritarian, yang membelenggu kebebasan politik warganya.
Dipasungnya demokrasi di dua zaman pemerintahan tersebut akhirnya membuat rakyat Indonesia berusaha melakukan reformasi sistem politik di Indonesia pada tahun 1997. Reformasi yang diperjuangkan oleh berbagai pihak di Indonesia akhirnya berhasil menumbangkan rezim Orde Baru yang otoriter di tahun 1998. Pasca kejadian tersebut, perubahan mendasar di berbagai bidang berhasil dilakukan sebagai dasar untuk membangun pemerintahan yang solid dan demokratis. Namun, hingga hampir sepuluh tahun perubahan politik pasca reformasi 1997-1998 di Indonesia, transisi menuju pemerintahan yang demokratis masih belum dapat menghasilkan sebuah pemerintahan yang profesional, efektif, efisien, dan kredibel. Demokrasi yang terbentuk sejauh ini, meminjam istilah Olle Tornquist hanya menghasilkan Demokrasi Kaum Penjahat, yang lebih menonjolkan kepentingan pribadi dan golongan ketimbang kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Tulisan ini berusaha menguraikan lebih lanjut bagaimana proses transisi menuju konsolidasi demokrasi di Indonesia belum menuju kepada proses yang baik, karena masih mencerminkan suatu pragmatisme politik. Selain itu di akhir, penulis akan berupaya menjawab pilihan demokrasi yang bagaimana yang cocok untuk diterapkan di Indonesia.
Munculnya Kekuatan Politik Baru yang Pragmatis
Pasca jatuhnya Soeharto pada 1998 lewat perjuangan yang panjang oleh mahasiswa, rakyat dan politisi, kondisi politik yang dihasilkan tidak mengarah ke perbaikan yang signifikan. Memang secara nyata kita bisa melihat perubahan yang sangat besar, dari rezim yang otoriter menjadi era penuh keterbukaan. Amandemen UUD 1945 yang banyak merubah sistem politik saat ini, penghapusan dwi fungsi ABRI, demokratisasi hampir di segala bidang, dan banyak hasil positif lain. Namun begitu, perubahan-perubahan itu tidak banyak membawa perbaikan kondisi ekonomi dan sosial di tingkat masyarakat.
Perbaikan kondisi ekonomi dan sosial di masyarakat tidak kunjung berubah dikarenakan adanya kalangan oposisi elit yang menguasai berbagai sektor negara. Mereka beradaptasi dengan sistem yang korup dan kemudian larut di dalamnya. Sementara itu, hampir tidak ada satu pun elit lama berhaluan reformis yang berhasil memegang posisi-posisi kunci untuk mengambil inisiatif. Perubahan politik di Indonesia, hanya menghasilkan kembalinya kekuatan Orde Baru yang berhasil berkonsolidasi dalam waktu singkat, dan munculnya kekuatan politik baru yang pragmatis. Infiltrasi sikap yang terjadi pada kekuatan baru adalah karena mereka terpengaruh sistem yang memang diciptakan untuk dapat terjadinya korupsi dengan mudah.
Selain hal tersebut, kurang memadainya pendidikan politik yang diberikan kepada masyarakat, menyebabkan belum munculnya artikulator-artikulator politik baru yang dapat mempengaruhi sirkulasi elit politik Indonesia. Gerakan mahasiswa, kalangan organisasi non-pemerintah, dan kelas menengah politik yang ”mengambang” lainnya terfragmentasi. Mereka gagal membangun aliansi yang efektif dengan sektor-sektor lain di kelas menengah. Kelas menengah itu sebagian besar masih merupakan lapisan sosial yang berwatak anti-politik produk Orde Baru. Dengan demikian, perlawanan para reformis akhirnya sama sekali tidak berfungsi di tengah-tengah situasi ketika hampir seluruh elit politik merampas demokrasi. Lebih lanjut, gerakan mahasiswa yang pada awal reformasi 1997-1998 sangatlah kuat, kini sepertinya sudah kehilangan roh perjuangan melawan pemerintahan. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh berbedanya situasi politik, tetapi juga tingkat apatisme yang tinggi yang disebabkan oleh depolitisasi lewat berbagai kebijakan di bidang pendidikan. Mulai dari mahalnya uang kuliah yang menyebabkan mahasiswa dituntut untuk segera lulus. Hingga saringan masuk yang menyebabkan hanya orang kaya yang tidak peduli dengan politik.
Akibat dari hal tersebut, representasi keberagaman kesadaran politik masyarakat ke dunia publik pun menjadi minim. Demokrasi yang terjadi di Indonesia kini, akhirnya hanya bisa dilihat sebagai demokrasi elitis, dimana kekuasaan terletak pada sirkulasi para elit. Rakyat hanya sebagai pendukung, untuk memilih siapa dari kelompok elit yang sebaiknya memerintah masyarakat.
Memilih Demokrasi untuk Indonesia?
Pertanyaan yang muncul dari kemudian adalah,”Lantas, jika reformasi 1998 juga belum dapat menentukan bagaimana model demokrasi yang cocok bagi Indonesia, apakah demokrasi memang tidak cocok bagi Indonesia?”. Menanggapi pertanyaan diatas, penulis perlu menekankan untuk memisahkan antara demokrasi sebagai sistem politik dengan demokrasi sebagai sebuah nilai. Demokrasi adalah sebuah nilai yang memberikan kebebasan dan partisipasi masyarakat. Dengan demokrasi, para warga negara dapat dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan. Idealismenya, setiap individu berhak menentukan segala hal yang dapat mempengaruhi kehidupannya, baik dalam kehidupan personal maupun sosial. Selain itu, demokrasi juga adalah cara yang efektif untuk mengontrol kekuasaan agar tidak menghasilkan penyalahgunaan wewenang.
Penulis melihat bahwa masa transisi di Indonesia yang masih belum menunjukan kehidupan demokrasi yang baik lebih dikarenakan negara hukum yang menjadi landasan Indonesia belum dapat mengkonsolidasikan demokrasi. Persyaratan untuk menuju konsolidasi demokrasi akhirnya memang sangat bertumpu pada proses reformasi hukum. Hukum harus diciptakan untuk memberikan jaminan berkembangnya masyarakat sipil dan masyarakat politik yang otonom, masyarakat ekonomi yang terlembagakan, dan birokrasi yang mampu menopang pemerintahan yang demokratis. Hukum harus dikembangkan untuk memperkuat masyarakat sipil (civil society) agar mampu menghasilkan alternatif-alternatif politik dan mampu mengontrol dan memantau pemerintah dan negara ketika menjalankan kekuasaannya.
Oleh karena itu, penulis melihat masih ada harapan bagi Indonesia di masa yang akan datang. Walaupun banyak yang skeptis bahwa masa depan politik di Indonesia akan menuju kearah yang lebih baik. Namun perkembangan yang terjadi belakangan ini dapat dijadikan setitik harapan bagi masa depan Indonesia. Yang perlu dicatat adalah jangan sampai kita terjebak dalam demokrasi prosedural saja dan melupakan ketertinggalan masyarakat secara ekonomi maupun sosial. Masalah-masalah sosial yang secara jelas mengancam integrasi bangsa ini dan juga berbagai kasus kelaparan harulah cepat diselesaikan. Seiring dengan perbaikan sistem politik dan juga aktor-aktor yang terlibat didalamnya.
Tentu langkah awalnya kembali kepada kita, masyarakat Indonesia. Bisakah kita menjadi artikulator demokrasi dan menyebarkan diskursus guna menyempurnakan model demokrasi bagi Indonesia?
Mari berdiskusi dan berbagi. Toh, ini cuma provokasi.
=====================================================================
Penulis adalah Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Indonesia, analis studi kebijakan luar negeri pada Pusat Kajian Komunitas Alternatif FISIP UI.
Selamat Datang
Selasa, 30 Oktober 2007
[+/-] |
Pandu Utama Manggala: Memilih Demokrasi untuk Indonesia |
Rabu, 03 Oktober 2007
[+/-] |
Demokrasi dan Masyarakat Sipil di Dunia Ketiga |
(Jeff Haynes – penerjemah P. Soemitro)
Yayasan Obor Indonesia, September 2000, xii + 374 halaman
Perkembangan demokrasi pada setiap negara, selalu memuculkan berbagai kelompok-kelompok yang selalau bersandar diaras masyarakat, baik dalam skala kecil maupun besar.
Kelompok ini biasanya selalu bersikap kritis atas setiap kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah. Terutama, hal in dilatar belakangi adanya rasa ketidakpuasan terhadap suatu orientasii dari kebijakan tersebut, maka mereka [kelompok-kelompok tersebut] menunjukkan bentuk keridakpuasan merekan dengan menggelar berbagai aksi. Sehingga dari sini kemudian muncul istilah “kelompok aksi” sebagai manifestasi ketidakpuasan yang ada.
Timbulnya permasalahan, bahwa eksistensi dari kelompok aksi tersebut umumnya sangat rentan, terutama dalam mempertahankan eksistensi, peran dan fungsinya di kancah politik.
Kelompok aksi ini biasanya akan mendapat tekanan keras dari pemerintah. Pertimbangan utama, umumnya adalah anggapan bahwa kelompok ini akan mengancam stabilitas politik yang telah dibangun oleh pemerintahan yang formal.
Maka, untuk mempertahankan eksistensi dans epak terjangnya, terdapat tiga alternatif yang dapat ditempuh.
Pertama, bergabung dengan partai politik besar. Dengan langkah ini keberadaan sebuah kelompok aksi akan relatif bertahan lama karena akan diproteksi oleh partai yang lebih besar tersebut.
Kedua, tetap otonom tetapi memiliki hubungan kerja dengan satu atau sejumlah partai politik. Resikonya, adalah munculnya sikap pragmatisme oportunistik dari partai yang dijadikan mitra aliansi hubungan kerja tersebut.
Ketiga, mencoba untuk membentuk federasi otonom dengan kelompok aksi non partai lainnya. Tipologi ini biasanya akan berhasil pada tingkat rek\gional dan dilakukan untuk tujuan spesifik temporal saja. Itupun harus dengan syarat, adanya kesamaan ideology dan tujuan antar kelompok yang melakukan aliansi tersebut.
Dalam buku ini, Jeff melihat ada dua problema utama yang dihadapi oleh negara-negara dunia ketiga, yang pertama adalah bersifat social politik, sedangkan yang kedua bersifat ekonomi.
Berhasil tidaknya dunia ketiga untuk mengatasi kedua problema tersebut, menurut Haynes sangat berpengaruh bagi tumbuhnya kelompok-kelompok aksi, yang orientasi utamanya adalah pemberdayaan rakyat pada akar bawah (grass root).
Karena banyaknya kelompok aksi yang muncul dibelahan Dunia Ketiga, maka Hayness dalam bukunya ini membagi dalam dua kelompok besar : Pertama, kelompok aksi yang memiliki korelasi erat dengan pembangunan, denan sasaran Meingkatkan kualitas hidup anggotanya adalah tujuan utama kelompok ini. Sedangkan kelompok yang Kedua, kelompok aksi yang memiliki sejumlah orientasi social-politik. Kelompok ini berusaha menumbuhkan kepekaan politik untuk menyuarakan aspirasi social politik mereka.
Buku yang dalam edisi Indonesia dilengkapi dengan kata pengantar dari Haynes sendiri ini, akan menarik sekali untuk dibaca oleh kita masyarakat Indonesia. Karena semua problema Dunia ketiga yang diangkat dalam buku ini, terasa relevan dan korelatif dengan berbagai permasalahan yangs sedang dihadapi bangsa Indonesia saay kini.
[+/-] |
Wimar Witoelar: Demokrasi sudah lahir, bagaimana membesarkannya? |
Mahasiswa ITB meminta tulisan mengenai demokrasi dan masa depannya, sebanyak sepuluh halaman. Wah, kata WW, besar sekali topiknya dan panjang sekali tulisannya. Sepuluh halaman adalah 7500 kata, jauh diatas kebiasaan WW. Yadeh, tulis aja sekuatnya. Lagipula, demokrasi harus lebih banyak dipraktekkan daripada dibahas.
Ibarat kelahiran bayi, kelahiran demokrasi di Indonesia tahun 1998 adalah suatu mukjizat. Tidak kelihatan pertumbuhan embryo demokrasi sebelum Soeharto jatuh, tahu-tahu lahir sebagai bayi sehat. Lengkap dengan semua perangkatnya, pers bebas, perubahan politik, peraturan kepartaian, pemilihan umum. Tapi apakah berarti demokrasi sudah hadir di Indonesia?
Thanom Kittikachorn
Di Thailand, dilakukan upaya mendirikan demokrasi sejak pergolakan mahasiswa dan kelas menengah ditahun 1973 menggulingkan pemerintahan Jendral Thanom Kittikachorn. Walaupun beberapa kembali ke pemerintahan militer, namun dengan militer macam Prem Tinsulanonda yang beraspirasi demokrasi, lambat laun demokrasi
Prem Tinsulanonda
berkembang di Thailand. Thaksin Shinawatr memerintah dengan partai yang menang Pemilu. Dengan pengalaman demokrasi lebih dari tigapuluh tahun, pemilu yang demokratis, parlemen yang terbuka dan konstitusi yang dibuat oleh rakyat, harusnya emokrasi Thailand sudah kokoh. Tapi ternyata kasus tuduhan korupsi, ketidak puasan kelas menengah, dan kekesalan Angkatan Bersenjata Thailand bergabung dengan arogansi Perdana Menteri Thaksin. Akhirnya orang tidak tahan lagi. Ketika ia digulingkan oleh kudeta militer, banyak orang bersorak gembira. Ini terjadi tidak lama setelah suatu pemilihan umum mengokohkan kembali Perdana Menteri yang pengusaha top Thailand itu.
Thaksin Shinawatr
Yang aneh adalah, bahwa kudeta militer itu mendapat dukungan masyarakat, paling tidak menurut pengamatan informal di jalanan. Cerita ini berbeda tapi ada persamaannya dengan kejadian setelah Gerakan 30 September ketika Presiden Soekarno digulingkan oleh Angkatan Darat. Kejadian ini seperti di Thailand merupakan kudeta militer, hanya bedanya adalah kejadiannya berdarah dan regime Soekarno yang digulingkannya bukan pemerintahan demokratis seperti pemerintah Thaksin. Orde Lama Soekarno sangat totaliter, sama totaliter dengan Orde Baru Soeharto bila kedua-duanya dilihat pada tahun-tahun terakhirnya. Perbedaan lain yang penting adalah, kudeta militer di Thailand tidak berdarah, sedangkan peralihan Orde Lama dan Orde Baru mengambil korban ratusan ribu jiwa.
B.J. Habibie
Sekarang kita berada dalam sistem demokrasi. Sejak 1998, banyak kemajuan telah tercapai. Mulai dengan pembebasan tahanan politik dan pembebasan pers pada kepresidenan Habibie, dilanjutkan dengan terobosan mendasar dalam pluralisme yang menghargai keragaman manusia, dan penempatan militer dalam posisi yang tidak mencekam warga, penghayatan problem khusus di Aceh dan Papua, Indonesia telah melakukan langkah maju. Paling penting adalah kesadaran akan pentingnya demokrasi, hak azasi dan pluralitas.
Abdurrahman Wahid
Kesadaran demokrasi kita dibuahkan menjadi aktualitas kehidupan yang lebih nyaman. Artinya, demokrasi kita sudah sampai pada tingkat intelektual tapi belum banyak menyentuh orang biasa. Orang biasa menunjukkan perilaku feodal, terlalu menghormati pejabat dan kurang yakin dalam pengertian hak demokratis. Bos dihormati secara otomatis, bukan diambil konsep ilmunya, sehingga yang muncul adalah hubungan kekuasaan dan bukan kecerdasan kolektif. Seorang gubernur tetap dipanggil dengan nama kesayangan mulai Bang Ali sampai Bang Yos, tanpa memperhitungkan kemungkinan bahwa jabatan gubernur itu dipakai melawan rakyat, bukan demi rakyat. Walaupun sudah banyak indikasi korupsi dari kekayaan yang berlimpah-limpah dan penciptaan proyek yang memperkaya penguasa, pejabat penguasa terus saja menjadi orang VIP yang terhormat dalam pergaulan sehari-hari.
Banyak orang yang melakukan protes, tapi mereka adalah aktivis keras yang memang sangat sadar akan hak demokratis, bahkan fokus hidupnya diabdikan untuk melawan penguasa. Orang biasa berada dalam jarak jauh dari aktivis ini, memilih hidup damai dan mencari nafkah tidak mau ribut. Pada tingkat ekstrim, aktivis mencari perkara untuk dilawan, sedangkan orang biasa menghindari konflik dengan mengabaikan issue sosial dan menenggelamkan diri dalam kehidupan kecil.
Padahal kehidupan biasa sangat bisa dijalankan dengan kesadaran akan hal- hal yang lebih besar. Paling tidak, rugi sendiri kalau orang biasa mengabaikan soal politik. Dan orang politik akan tidak relevan jika mengabaikan kehidupan biasa.
Cita-cita kita adalah agar aktivis dan orang biasa berbaur. Perjuangan tidak hanya untuk pejuang, tapi untuk orang biasa juga. Melawan ‘good guy’ bukan hanya kegiatan aktivis, harus bersama-sama ‘good guy’ dan orang biasa. Pengembangan profesional dan emosional tidak hanya untuk orang biasa, tapi untuk aktivis juga.
Aktivis yang sok aktif tidak jauh berbeda dengan pejabat yang arogan. Hanya dengan menyebarkan penghayatan demokrasi kepada orang biasa, dapat tercapai kehidupan demokrasi yang bertahan lama. Dan hanya dengan sadar akan realitas, aktivis bisa lebih efektif daripada demonstratif.
George W.Bush
Presiden George W. Bush menjalankan pemerintahan Amerika Serikat secara anti-demokratis sejak 11 September 2001. Jutaan orang dan puluhan pemerintahan di dunia terganggu oleh unilateralisme dan arogansi pemerintahan AS. Politiknya di Irak mengundang demonstrasi ganas di semua kota besar di dunia termasuk London dan Washington. Akhirnya dia jatuh juga, kehilangan dukungan di dua kamar Kongres dan gubernur negara bagian.
Ini contoh kasus yang berbeda dengan kudeta Thailand. Kejahatan pemerintahan George Bush jauh lebih besar dari pemerintahan Thaksin Shinawatr. Tapi Thaksin harus digulingkan oleh kudeta militer, Bush digulingkan oleh pemilihan umum. Itu karena demokrasi Thailand baru berusia 30 tahun, demokrasi Amerika Serikat 230 tahun. Di Indonesia, demokrasi baru lahir, sekarang harus dibesarkan.
[+/-] |
Islam Liberal dan Ketegangan Demokrasi Di Dunia Islam |
Pergulatan pemikiran Islam adalah spiral sejarah yang akan berulang. Yang pantas kita ambil adalah semangat untuk terus melakukan reinterpretasi Islam sesuai dengan jaman dan dengan tetap menghargai adanya perbedaan. Islam yang lahir dari peradaban teks dengan sendirinya membuat Islam memiliki banyak wajah, karena teks itu bebas untuk ditafsir.
Sikap radikal yang muncul dari sebagian kalangan Islam terhadap pemuatan serial karikatur nabi Mumammad di salah satu koran Denmark, Jyllands-Posten, serta dukungan luas kepada Rancangan Undang-undang Anti-pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) sekali lagi menunjukkan bahwa di dunia Islam terjadi ketegangan ketika berhadapan dengan demokrasi dan prinsip-prinsip kebebasan.
Sebagian kelompok umat Islam masih belum mampu menerima perbedaan dengan kepala dingin. Pelecehan dan penghinaan terhadap simbol-simbol agama dibalas dengan tindakan anarkis yang bertubi-tubi. Dalam kasus karikatur nabi Muhammad, mereka merusak gedung-gedung kedutaan dan meminta pelakunya diganjar hukuman mati. Sebaliknya, di satu sisi mereka berupaya memaksakan kepentingan mereka dan mengecilkan hak asasi orang lain.
RUU APP adalah contoh bagaimana umat Islam mementingkan keinginan sendiri tanpa memedulikan realitas sosial yang ada di masyarakat Indonesia. Hal ini terungkap dalam sebuah diskusi yang bertema “Islam Liberal dan Gairah Pemikiran Islam di Indonesia” hasil kerjasama antara Yayasan Tifa, Solo Society, dan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Locus STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) Surakarta, pada 22 Maret 2006 yang lalu. Bertempat di gedung student centre STAIN Surakarta, diskusi ini menghadirkan tiga orang pembicara, yaitu Novriantoni, aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL), Islah Gusmian (STAIN), dan Zakiyuddin Baydhawy, (PSB-PS UMS Surakarta). Diskusi ini juga merupakan program kerja dua bulanan yang dilakukan oleh Solo Society.
Selain menyayangkan sikap yang ditunjukkan oleh umat Islam di atas, para pembicara mengatakan bahwa sebetulnya ada permasalahan yang lebih penting dan substantif dalam kondisi sekarang ini, dimana umat Islam juga harus ikut ambil bagian dalam upaya menanganinya. Dari pada ribut mengenai RUU APP, problem kemiskinan, kekerasan terhadap perempuan dan anak, pengangguran, dan adanya ketidakadilan stuktural seharusnya menjadi agenda perjuangan umat Islam, khususnya di Indonesia.
Menurut Novriantoni, di sinilah Islam liberal hadir dan mengambil peranan untuk memberikan sumbangsih pemikiran mengenai permasalahan yang menghinggapi umat Islam umumnya. Ia menegaskan bahwa Islam liberal muncul untuk menampilkan Islam yang tidak berlawanan dan atau memang sesuai dengan demokrasi. “Khususnya di Indonesia, paradigma Islam liberal digulirkan untuk menguatkan proses demokrasi yang mulai berkembang pasca kejatuhan pemerintahan otoriter Soeharto,” tandasnya.
Dalam dunia Islam masih terlihat adanya sikap menghakimi dan mencoba mengkafirkan yang lain, seperti dialami oleh Ahmadiyah dan Salman Rushdi. Ia juga mensinyalir adanya gerakan di Indonesia yang akan membawa negara ini menjadi sebuah pesantren state. Jika ini benar, maka akan timbul ketegangan-ketegangan yang lebih besar lagi, sebab masyarakat indonesia yang multikultur ini tidak bisa diseragamkan. Implikasi yang lebih luas adalah hancurnya konsepsi Bhinneka Tunggal Ika dan kehidupan demokratis yang diidamkan.
Tidak baru
Paradigma Islam liberal dalam agenda demokrasi (ataupun dimensi lainnya) seperti yang diungkapkan oleh Novri bukanlah hal baru dalam pergulatan pemikiran Islam, baik di Indonesia maupun negara lainnya. Islah dan Zakiyudin sama-sama berpandangan bahwa Islam liberal sudah menorehkan catatannya dalam sejarah dan menjadi dinamisator bagi perkembangan Islam pada umumnya.
Cuma, menurut Islah, Islam liberal yang kembali mencuat belakangan ini diawali oleh tulisan Ulil Abshar Abdalla di harian Kompas, empat tahun yang lalu. Sejak itu Islam liberal dan JIL (dimana Ulil bernaung) menjadi perbincangan dan mendapat sorotan tajam dari masyarakat. “Jadi Islam liberal itu bagaikan pisang goreng dengan rasa keju. Bahannya sama, cuma rasa dan aromanya saja yang dibikin lain.” “Yang dilakukan oleh teman-teman JIL itu sebenarnya hal yang biasa dalam pergulatan pemikiran Islam,” kata Islah.
Dosen STAIN yang novelnya dibuat menjadi film “Rindu Kami PadaMu” oleh Garin Nugroho ini mendasarkan argumennya pada sejarah Islam di tanah air. Di abad 17 terjadi pertarungan antara Hamzah Fansuri (tasawuf) dan Nurudin Al Raniri (Islam ortodoks). Pertarungan mereka hampir sama dengan apa yang dialami oleh JIL sekarang. “Teman-teman JIL masih enak. Dulu bukan hanya pengkafiran yang diterima, melainkan hampir semua buku-buku dibakar habis oleh Raniri,” kata Islah.
Menurut Zakiyuddin, dari segi etimologi, istilah, Islam liberal muncul pada tahun 1950-an. Kali pertamanya dikemukakan oleh Ali Asghar Fyzee, yang mengemukakan bahwa siapapun muslim yang mendekati Islam secara historis kritis maka dia disebut muslim liberal. Istilah ini bergulir dan menimbulkan banyak definisi. Seperti Leonard Binder dan Charles Kurzman. Kedua Islamolog Barat ini memiliki pendekatan berbeda. Binder mengatakan Islam Liberal adalah seorang yang berpikiran liberal dengan bingkai liberalisme Barat. Sementara itu Kurzman menganggap bahwa Islam liberal adalah bagian dari tradisi Islam.
“Salah satu kecurigaan di Indonesia adalah Islam liberal yang berkembang menggunakan logika Binder, yakni Islam liberal dianggap bagian dari tradisi liberalisme Barat. Padahal tokoh-tokoh Indonesia di era 70-an seperti Johan Effendi, Gus Dur, dan Cak Nur hanya memakai pendekatan modernisme untuk mengembangkan pemikiran Islam,“ ungkapnya.
Pergulatan pemikiran Islam adalah spiral sejarah yang akan berulang. Seperti yang dikatakan oleh Islah, bahwa yang pantas kita ambil adalah semangat untuk terus melakukan reinterpretasi Islam sesuai dengan jaman dan dengan tetap menghargai adanya perbedaan. Islam yang lahir dari peradaban teks dengan sendirinya membuat Islam memiliki banyak wajah, karena teks itu bebas untuk ditafsir. “Sebuah keniscayaan yang sulit dipungkiri atau diseragamkan”, tegasnya.
exacta | |
Definition: | A method of betting, as on a horserace, in which the bettor must correctly pick those finishing in the first and second places in precisely that sequence. |
Synonyms: | perfecta |